A WOUNDED FAWN
Sutradara: Travis Stevens
USA (2022)
Review oleh Tremor
Setelah merilis debutnya Girl on the Third Floor (2019) yang disusul dengan Jakob’s Wife (2021), sutradara / penulis Travis Stevens kembali dengan film fitur horor ketiganya: A Wounded Fawn, yang sama sekali berbeda dibanding dua film Stevens sebelumnya. Film arthouse horror indie yang ia tulis bersama aktor Nathan Faudree ini mencoba menggabungkan seni surealisme, serial killer, dan drama tragedi yunani kuno. Sebuah perpaduan yang menarik.
A Wounded Fawn dibagi ke dalam tiga babak, dan dibuka seperti sebuah film thriller. Pada babak pertama, kita diperkenalkan dengan Bruce Ernst, seorang pembunuh berantai yang membunuh para korbannya atas desakan entitas misterius berwujud burung hantu merah raksasa. Pada babak kedua kita diperkenalkan dengan Meredith, seorang kurator museum seni yang berhasil bangkit dari trauma hubungan abusif di masa lalunya. Kini Meredith siap membuka hati dan berkencan lagi. Sialnya, Meredith berkenalan dengan Bruce, dan ia menyanggupi ajakan Bruce untuk menghabiskan akhir pekan di kabin milik Bruce yang berada di tengah hutan. Dari titik ini, secara perlahan A Wounded Fawn mulai bertransformasi dari horror thriller menegangkan menjadi sebuah film horor yang sureal.
Referensi utama A Wounded Fawn adalah sebuah drama tragedi Yunani kuno yang berjudul “Eumenides”. Drama ini ditulis oleh Aeschylus (524 SM – 456 SM), seorang penulis tragedi Yunani kuno yang sering dianggap sebagai “the father of tragedy”. “Eumenides” sendiri merupakan satu dari tiga kisah dalam trilogi sandiwara berjudul “Oresteia” yang Aeschylus tulis pada tahun 458 SM. Plot device yang digunakan dalam film A Wounded Fawn adalah sebuah karya seni patung langka dari jaman Yunani kuno, bernama “The Wrath of the Erinyes”. Patung tersebut menggambarkan adegan seorang pria yang sedang dikelilingi oleh tiga entitas perempuan berkepala hewan. Tiga sosok mengerikan itu adalah Erinyes. Dalam mitologi Yunani kuno, Erinyes atau yang juga dikenal dengan istilah Eumenides, dan dalam bahasa inggrisnya disebut the Furies, adalah para Dewi pembalas dendam dan pemberi hukuman yang namanya pertama kali disebut dalam puisi Yunani klasik “Iliad” yang sangat populer. Karena sosok mereka sangat menakutkan, orang-orang Yunani kuno kadang menyebut mereka dengan nama “The Kindly Ones”. Bagi yang sudah pernah menonton A Wounded Fawn dan kebingungan dengan makhluk-makhluk halusinasi yang meneror dalam babak ketiga, mereka adalah penggambaran teaterikal Erinyes yang datang membalaskan dendam bagi para korban Bruce.
Referensi lain dalam film ini adalah dunia seni yang cukup spesifik, yaitu seni surealisme. Pertama, A Wounded Fawn dibuka dengan satu kutipan dari seorang seniman surealis Meksiko yang bernama Leonora Carrington. Sutradara Travis Stevens bahkan membuat satu adegan yang secara terang-terangan merupakan penggambaran ulang lukisan terkenal karya Leonora Carrington berjudul “Operation Wednesday” (1969), mungkin sebagai bentuk penghargaan dari Stevens. Selain itu, desain kostum para Erinyes juga tampak seperti sosok-sosok yang seakan terlahir dalam kanvas-kanvas lukisan surealis, dengan sedikit pengaruh kostum sandiwara panggung teater. Belum lagi nama karakter Bruce Ernst yang dinamai berdasarkan nama seorang seniman dadaisme surealis asal Jerman yaitu Max Ernst. Saya pikir para penonton yang memiliki minat besar pada seni surealisme akan sangat senang melihat banyaknya referensi dalam A Wounded Fawn.
Namun sebagai sebuah film arthouse yang memiliki banyak referensi seputar dunia seni murni, tentu film ini akan membingungkan banyak penonton umum yang berekspektasi untuk menonton dengan santai dan mencari hiburan. Film arthouse seperti A Wounded Fawn jelas tidak bisa dinikmati oleh semua orang, termasuk saya. Tapi sebagai sebuah film horor, A Wounded Fawn cukup berhasil menggambarkan banyak suasana mencekam dan menegangkan, hingga beberapa adegan berdarah yang cukup efektif. Setidaknya babak satu dan dua film ini bisa dinikmati sebagai sebuah film horor tradisional. Secara teknis, A Wounded Fawn di-shot menggunakan kamera 16mm yang membuat visual film ini terlihat cukup fantastis dengan grains-nya. Sinematografi film ini juga cukup enak dipandang, diperkuat dengan pencahayaan kontras yang berhasil menjadikan warna merah terasa begitu mengancam. Konsep arthouse dengan referensi seni yang dibuat dengan sinematografi fantastis seperti ini, menjadikan pengalaman menonton A Wounded Fawn layaknya menikmati film sebagai sebuah karya lukis yang bercerita.
Karena saya bukan penggemar film arthouse, tentu apa yang saya tulis akan menjadi sangat subjektif. Sejak memasuki babak ke-tiga-nya yang semakin sureal dan agak membosankan, saya berusaha menahan diri untuk tidak mematikan film dan mengganti dengan film lain. Ide dan konsep yang menarik, sinematografi bagus, skor bagus, serta performa para aktornya yang juga bagus, bagi saya semua itu terasa terbuang begitu saja sejak memasuki babak ketiga yang mendadak surealis. Entahlah, itu hanya pendapat saya saja. Tapi setidaknya dua per tiga film ini bisa saya nikmati dan berhasil membuat penasaran, tidak seperti film surealis Mandy (2018) yang cukup melelahkan bagi saya di sepanjang durasi misalnya. Saya juga sangat menghargai usaha sutradara / penulis Travis Stevens yang menggabungkan surealisme, serial killer, dengan tragedi Yunani kuno ini, karena rasanya belum pernah ada yang melakukannya sebelumnya. Yang pasti kalau kalian mencari plot, pengembangan karakter dan film horor yang menyeramkan, mungkin A Wounded Fawn bisa membuat kecewa. Tapi para penggemar horor sekaligus arthouse mungkin perlu menontonnya.