MOVIE REVIEW: 13 SINS (2014)

13 SINS
Sutradara: Daniel Stamm
USA (2014)

Review oleh Tremor

13 Sins adalah sebuah film thriller horror karya sutradara kelahiran Jerman, Daniel Stamm, dan merupakan film ketiganya setelah sebelumnya membuat A Necessary Death (2008) serta The Last Exorcism (2010). 13 Sins sendiri merupakan film remake dari film Thailand yang berjudul 13 Beloved (2006), juga dikenal sebagai 13: Game of Death, karya sutradara / penulis Thailand Chookiat Sakveerakul. Sejujurnya, jarang sekali saya berminat untuk menonton film-film Amerika yang me-remake film-film asia/eropa, karena pada umumnya hanya ada sedikit sekali film remake semacam ini yang bisa dianggap lebih bagus dari versi aslinya. Kebanyakan alasan mengapa film remake asia/eropa dibuat adalah karena pasar penonton film di Amerika tidak terbiasa menonton sambil membaca subtitle. Maka banyak film bagus yang dibuatkan versi Amerika-nya. Film-film asia dari mulai Ringu (1998), Kairo (2001), Ju-on (2002), A Tale Of Two Sisters (2003), Oldboy (2003) hingga One Missed Call (2003), misalnya, adalah contoh bagaimana film-film asli seringnya tetap jauh lebih unggul dibanding versi remake-nya. Sayangnya, saya belum pernah menonton versi asli dari 13 Sins, jadi saya hanya akan berasumsi bahwa versi aslinya kemungkinan besar jauh lebih bagus. Tapi mari kita lupakan sejenak kenyataan bahwa 13 Sins adalah film remake dari film Thailand dan berfokus pada versi Amerika-nya.

Seorang pria malang bernama Elliot baru saja dipecat dari pekerjaannya. Sial bagi Elliot karena ia sudah terlanjur berjanji untuk minggu itu juga menikahi tunangannya, Shelby, yang saat ini sedang mengandung bayi mereka. Tak hanya kehilangan pekerjaan, Elliot juga tidak lagi memiliki asuransi kesehatan. Artinya, ia tidak bisa lagi memberi bantuan perawatan untuk adiknya, Michael, yang mengalami keterbelakangan mental. Tak cukup sampai di situ, ayah Elliot, seorang rasis yang kasar, baru saja diusir dari rumah pensiunnya. Ini berarti ayahnya mau tidak mau harus pindah menumpang dengan Elliot dan Shelby, yang kebetulan seorang kulit hitam. Belum lagi hutang kartu kreditnya yang sudah begitu menumpuk. Beban finansial dan mental Elliot begitu berat. Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba ia mendapat panggilan telepon dari seorang pria misterius yang mengetahui segala hal tentang kehidupan Elliot. Tujuan pria misterius tersebut adalah menawari kesempatan pada Elliot untuk bermain dalam sebuah permainan spesial yang ditujukan hanya bagi orang-orang terpilih. Hadiah dari permainan ini adalah kekayaan luar biasa hingga enam juta dollar lebih. Yang harus ia lakukan “hanyalah” memenuhi 13 tantangan yang akan diberikan secara beruntun. Elliot akan mendapat sejumlah uang setiap kali ia berhasil melakukan satu tantangan. Uang tersebut kemudian akan didebitkan secara otomatis ke dalam rekening banknya. Peraturannya, sekali Elliot setuju untuk bermain, ia tidak boleh berhenti. Ia juga tidak boleh memberi tahu siapapun tentang permainan ini. Sekali ia melanggar peraturan-peraturan, atau tidak berhasil dalam satu tantangan, semua uang yang sudah ia kumpulkan akan hilang dan permainan berakhir.

Merasa nothing to lose, Elliot mencoba melakukan tantangan pertama yang terdengar mudah, membunuh seekor lalat. Tantangan ini berhadiah $1.000. Awalnya ia masih berpikir bahwa ini adalah prank belaka. Namun benar saja, saat ia mengecek rekening banknya, ia menemukan uang masuk sebesar $1.000. Elliot semakin tertarik. Ia melihat adanya harapan untuk bisa membahagiakan calon istri dan anaknya yang akan lahir, sekaligus juga bisa merawat adik serta ayahnya. Semua hutang-hutang akan lunas dan mereka sekeluarga bisa mendapat kehidupan yang layak. Akhirnya Elliot menerima tantangan kedua: memakan lalat yang baru saja ia bunuh sebelumnya demi hadiah sebesar $3.000. Tantangan ketiga, membuat seorang anak kecil menangis untuk hadiah $5.000. Hadiahnya semakin meningkat dalam setiap tantangan. Namun tanpa ia sangka, permainan konyol berselera humor rendah ini mulai berubah menjadi permainan sakit jiwa yang akan menghancurkan hidupnya. Sialnya, tak ada pilihan lain bagi Elliot selain melanjutkan permainan gila ini.

Siapapun yang mengharapkan film dengan ide segar, tidak akan menemukannya dalam 13 Sins, karena ini adalah sebuah film dengan tema yang sudah sering kita lihat sebelumnya: “seberapa jauh seseorang berani berbuat nekat saat terpuruk dalam keputusasaan?” Karakter utama yang tidak beruntung ditempatkan dalam labirin permainan sakit jiwa juga bukanlah hal baru dalam film horror. Apalagi kalau permainan ini menjanjikan kebebasan finansial. Tentu sangat wajar kalau kemudian banyak orang memperbandingkan 13 Sins dengan film Cheap Thrills, film komedi horror dengan plot mirip, dirilis dalam bulan dan tahun yang sama. Dua tahun sebelumnya, film berjudul Would You Rather (2012) juga menawarkan plot seputar permainan sakit jiwa dengan hadiah kekayaan. Namun perlu diingat bahwa ide dasar 13 Sins datang dari film Thailand yang sudah dirilis jauh sebelum Would You Rather. Tanpa memperbandingkan dengan versi aslinya, 13 Sins sendiri adalah film thriller yang cukup solid, dilengkapi dengan elemen-elemen horror penuh darah dan sedikit dark comedy. Apa yang saya apresiasi dari film ini adalah bagaimana sutradara Daniel Stamm cukup cekatan dalam membangun ketegangan demi ketegangan. Saya sangat menikmati ketidakpastian dari alur ceritanya. Sebuah film yang membuat saya terus menerka-nerka tentang apa yang selanjutnya akan terjadi di sepanjang film, saya anggap sebagai film yang dibuat dan ditulis dengan cukup apik. Apalagi saat Elliot harus melakukan banyak tindakan yang mengerikan, penonton tanpa sadar tetap mendukungnya dan berharap semua yang terbaik bagi Elliot. Itu adalah salah satu contoh bagaimana sebuah film ditulis dengan cukup baik.

Dari apa yang saya baca, versi asli film ini (versi Thailan-nya) lebih menitikberatkan pada thriller serta komedi gelap, dan jauh lebih menegangkan. Tapi 13 Sins dibuat jauh lebih gore dibanding versi Thailand-nya. Special effect tradisional gore yang digunakan dalam film ini tentu saja menambah daya tarik 13 Sins dan berhasil membuatnya memiliki gayanya sendiri dibandingkan versi aslinya. Dari mulai anggota tubuh yang terpisah, tenggorokan digorok, perut ditusuk, hingga pemenggalan kepala, rupanya departemen special effect 13 Sins tidak bermain-main. Secara keseluruhan, di luar semua plothole dan kekurangannya, 13 Sins tetaplah merupakan film thriller horor remake yang menegangkan sekaligus menghibur, terutama karena disisipkannya unsur-unsur komedi gelap yang kalau dipikir-pikir terkadang cukup sakit juga. Satu-satunya kekecewaan saya hanya pada ending-nya yang terasa sangat antiklimaks, atau mungkin sekedar tidak sesuai dengan harapan saya pribadi. Saya dengar, Daniel Stamm sebenarnya membuat dua versi untuk endingnya: satu ending yang penuh optimisme, dan satu lagi ending yang menurut saya lebih tepat untuk film ini, yaitu versi nihilistik. Alternate Ending tersebut sayangnya hanya tersedia dalam rilisan Blu-ray-nya saja. Kesimpulannya, saya tidak merasa 90 menit saya terbuang dengan sia-sia setelah menonton 13 Sins.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com