PURE WRATH ‘Hymn to the Woeful Hearts’ ALBUM REVIEW
Debemur Morti Productions. February 18th, 2022
Atmospheric black metal
Seandainya di Indonesia ada penghargaan tahunan buat musisi paling produktif, tahun 2021 kemaren pemenangnya sudah pasti Januaryo Hardy, pasalnya dalam kurun waktu kurang dari tujuh bulan ia merilis empat buat album sekaligus, selain album ketiga PERVERTED DEXTERITY, ‘Alacrity for Contemptuous Dissonance’ yang luar biasa kurang ajar, big boss Insidious Soundlab ini juga memuntahkan 3 album brutal death gak kalah ngeri bareng CADAVORACITY, OMNIVOROUS, dan project multi-nasional URGED. Sedangkan tahun 2022 ini baru aja LAMENT ngerilis full-length kedua bertajuk ‘Morris’, yang makin condong ke arah post-rock murni, eh selang beberapa minggu kemudian udah giliran PURE WRATH yang unjuk gigi dengan album penuh terbarunya yang disebarluaskan oleh salah satu label paling kvlt benua Eropa saat ini, Debemur Morti Productions. Gambar sampul tentunya masih dikerjakan oleh Aghy R Purakusuma, yang sudah terlibat dengan PURE WRATH semenjak debut ‘Ascetic Eventide’ dulu, jadi goretan nya yang sangat eye-catching sudah sangat klop dengan band ini, bisa mewakili overall tone dari ‘Hymn to the Woeful Hearts’ yang cukup suram, melanjutkan konsep dari EP.
‘Hymn to the Woeful Hearts’ mengangkat kisah seorang penyintas Pembantaian massal 1965–66 sekaligus ibu yang anaknya diculik, disiksa, lalu dipenggal, dimana selama puluhan tahun ia harus menahan duka dan derita tanpa ada keadilan. Karena narasinya sangat gelap, Lagu-lagu yang ditulis oleh Ryo untuk album ini, jauh lebih suram dan melankolis dari dua LP sebelumnya, bukan lagi membawakan black metal dari sudut pandang pemuda pencinta alam yang kangen kampung halaman kek dua LP awal. PURE WRATH kembali menggunakan jasa penggebuk drum kelahiran Ukraina, Yurii Kononov (ex-WHITE WARD) dan melibatkan lagi Dice Midyanti, yang memainkan instrumen piano dan cello. ‘Hymn to the Woeful Hearts’ terbagi kedalam enam babak, materinya sendiri sih gak jauh berbeda dari ‘The Forlorn Soldier’, yang merupakan EP pemanasan album ini, format atmospheric black metal yang di usung PURE WRATH, sekarang udah semakin epik, sinematis dan juga bertabur bumbu simfonik, tidak mengandalkan aransemen repetitif buat menghipnotis pendengar sampe lupa waktu. Walaupun secara keseluruhan baik komposisi dan song structure nya lumayan variatif, namun progresi dari lagu ke lagu kadang masih terlalu membaur, jadi suka enggak engeh udah track keberapa pas lagi nyetel, apalagi (hampir) semua lagu lumayan ngebut, kayak lagi narik terus dikejar satpol PP.
Kekurangan album ini paling materinya sedikit kurang memorable saja, agak sulit menemukan riff, melodi, dan line vokal yang benar-benar distinctive, ‘Hymn to the Woeful Hearts’ diselamatkan performa vokal Ryo, yang berasa banget emosinya, berhasil nangkep jeritan amarah dan kesedihan yang terpendam bertahun-tahun, pas paduan suara masuk dalam lagu “Years of Silence” dan “Footprints of the Lost Child” dijamin mampu bikin bulu kuduk merinding lurd (approach penggunaan vokal clean nya beda sama LAMENT). Kalau soal produksi, dari rekaman, mixing, hingga mastering udah gak perlu dipertanyakan lagi deh, gak perlu pake embel-embel pake produser dari luar negeri, wong yang punya band-nya sendiri audio engineer bertangan dingin, ditambah semenjak ‘The Forlorn Soldier’ kemaren, PURE WRATH udah pakai jasa drummer manusia alias gak digambar pake software lagi, jadi yang dulu sempet komplen kalau ‘Ascetic Eventide’ dan ‘Sempiternal Wisdom’ kurang manusiawi, gak ada alesan untuk nyinyirin ‘Hymn to the Woeful Hearts’, apalagi semenjak 2019, PURE WRATH udah bukan one-man band lagi, jadi baik EP kemaren dan album ini terasa banget beberapa lagunya seperti memang diniatkan untuk dibawakan pas live, durasinya boleh panjang tapi tetep dimanis, biar yang nonton kagak cepet jenuh. (Peanhead)
8.5 out of 10