ALBUM REVIEW: ORBIT CULTURE – DEATH ABOVE LIFE

ORBIT CULTURE Death Above LifeALBUM REVIEW

Century Media Records. October 3rd, 2025

Melodic death/Groove metal

Sudah lima tahun terakhir, ORBIT CULTURE mampu menjelma jadi salah satu band metal modern paling banyak diperbincangkan.Kunci kesuksesan mereka bisa dibilang terletak pada pendekatan yang agak berbeda di tengah gempuran band-band metalcore dan deathcore beserta turunannya,meskipun konsep melodic death ketemu groove/thrash metal yang mereka bawakan sudah termasuk modern banget, jadi gak mungkin lahbikin penikmat extreme metal garis keras atau yang udah ”too old too cold” ujug-ujug kerajinan denger. Tapi karena materinya masih lumayan galak dan gak terlalu dipoles, ORBIT CULTURE bisa menjamah berbagai kalangan pendengar. Perjalanan karir ORBIT CULTURE pun bisa dibilang gak melewati lajur instant, karena selama enam tahun pertama, mereka bergeriliya di jalur do-it-yourself, dengan melepaskan debut EP ‘Odyssey’ (2013), berserta album ‘In Medias Res’ (2014) dan ‘Rasen’ (2016) secara mandiri dalam format digital dan CD-R terbatas. Barulah pada tahun 2019 ORBIT CULTURE akhirnya berhasil membesarkan nama mereka setelah mendapatkan bantuan mesin promosi Seek & Strike, yang berefek album ketiga mereka, ‘Nija’, dan mini-album ‘Shaman’, menggaung luas di pasaran.

Tak seperti ‘Descent’ yang langsung nonjok pelipis sejak lagu pembuka, empat lagu pertama dari ‘Death Above Life’ tak berhasil memantik interest gua sama sekali buat dengerin album kelima ORBIT CULTURE ini. Alasan pertama karena produksinya bikin pendengar seperti digencet tembok dari empat sisi , yang mencekik dan nggak ada  ruang bernapas, Niklas Karlsson, Richard Hansson, Fredrik Lennartsson dan Fredrik Lennartsson juga punya tendensi gak punya kontrol diri saat menulis lagu, karena sudah jelas banget kalau “Inferna”, “Bloodhound”, dan “Inside the Waves” wear out their welcome banget sih dari segi durasi sih, alias sebenernya bisa dipadetin lagi, karena dari segi komposisi gak bisa menjustifikasi runtime nya. Selain itu “Inside the Waves” menurut gua generik parah dengan chorus menjurus ke cringe. Kemudian trek kelima, “Hydra”, ya udah termasuk mendingan lah, dimana produksi klaustrofobik-nya produser Buster Odeholm actually bisa mengangkat intensitas lagu tersebut, walaupun aransemennya agak datar dan kurang greget khususnya di menit penghujung.

‘Death Above Life’ emang anomali banget, dibandingkan mayoritas album lain di pasaran yang punya kecenderungan frontloaded, nomor-nomor terbaik dari album ini justru nongol di sisa lima lagu terakhir. Mulai dari “Nerve” yang ultra-catchy dan langsung berhasil menjerat atensi gua untuk menyimak album ini lebih lanjut, lalu dilanjutkan dengan title track yang cukup brutal dan heavy as fukk, dimana cinematic flair ORBIT CULTURE bener-bener bisa terpancar. Favorit gua sih tetep “The Storm” yang epik, anthemic dan sedikit mengingatkan gua pada AMON AMARTH, yang kemudian disamber dengan “Neural Collapse” yang djent-yandgroovy at the same time dan mampu mengundang hasrat untuk headbang. ‘Death Above Life’ ditutup dengan sebuah lagu slow rock dalam tanda kutip, “The Path I Walk”, yang masih terdengar cukup gahar dan tidak cheesy, cuma agak disayangkan aja gak ada pay off yang menggelegar. Kalau dibandingkan baik dengan ‘Descent’ dan ‘Nija’, debut ORBIT CULTURE dibawah naungan Century Media Records ini ya gak bisa disebut flop sih, tapi ya gak bisa dibilang great juga, 50% materi dalam ‘Death Above Life’ secara gablang missed the mark, yang untungnya dapat ditebus 50% lagu sisanya, setidaknya ‘Death Above Life’ merupakan album groove metal yang dijamin lebih nampol dari album baru MACHINE HEAD. (Peanhead)

6.5 out of 10