LOATHE ‘I Let It in and It Took Everything’ ALBUM REVIEW
SharpTone Records. February 7th, 2020
Metalcore/Alternative metal/Post-metal
Album kedua dari LOATHE yang bertajuk ‘I Let It in and It Took Everything’, saya rasa pantas mendapat predikat album metalcore paling ngetren alias nge-hype tahun lalu, hal tersebut dapat dibuktikan dengan performa album tersebut dalam berbagai end of the year list berbagai media cetak dan online, reaction video yang lumayan bejibun di Youtube, bahkan LOATHE sempat terpilih dalam fan poll Revolver Magazine bersama HIGHER POWER dan CREEPING DEATH, sebagai wajah baru yang punya kans besar menembus pasar arus utama. Grup asal Liverpool, Inggris ini mengikuti fenomena musisi/band jaman sekarang yang sudah tidak peduli dengan batasan genre, awalnya dalam EP ‘Prepare Consume Proceed’ dan album ‘The Cold Sun’ masih mengusung sound djent agak sedikit atmosferik dengan konsep sci-fi terinspirasi ‘Akira’, ‘Blade Runner’ dll, yang membuat LOATHE setidaknya tak sekedar band copas belaka dari MESHUGGAH dan PERIPHERY, namun kedua rilisan tersebut masih sangat terdengar setengah matang atau nanggung, eksplorasi nya masih banyak menggantung plus kurang greget (ditambah celan vocal rada caur), baru dengan ‘I Let It in and It Took Everything’, LOATHE mampu merealisasikan segala potensi mereka.
Tone gitar down-tuned chugga-chugga tebal dan gemuk ala djent, masih dipertahankan dalam ‘I Let It in and It Took Everything’, dibarengi eksperimentasi semakin berani, dengan meningkatkan kadar unsur post-rock dan ambient, LOATHE juga ikutan nyemplung ke ranah shoegaze dan nu-metal/alternative metal kayak band kekinian, hal tersebut menjadikan album ini sangat sulit untuk dikategorikan, karena LOATHE dengan sangat seenak jidat gonta-ganti kostum, bukan hal aneh jika setelah breakdown yang mampu melelehkan subwoofer langsung dilanjutkan dengan trek mengawang-ngawang dan melankolis. tetapi hal tersebut jangan disalahartikan sebagai aksi selling out, karena disatu sisi mereka juga mempersembahkan racikan paling heavy mereka sejauh ini, seperti “Gored” yang tak kalah brutal kalau disejajarkan dengan grup deathcore sludgy macam BLACK TONGUE atau THE ACACIA STRAIN, begitu pula “Heavy Is the Head That Falls with the Weight of a Thousand Thoughts”, dimana lima puluh detik awal terdengar seperti sebuah aransemen atmospheric black metal, walaupun hanya numpang lewat sejenak sebelum balik lagi ke riff-riff bouncy as f$%@ dan extra breakdown krispy.
Meskipun sudah berani keluar dari pakem metalcore/djent, LOATHE tetap belum bisa lepas dari bayang-bayang band yang menginspirasi mereka, “Two-Way Mirror”, “Is It Really You?”, dan “A Sad Cartoon” terlalu frontal influence HUM dan tentunya paling ketara DEFTONES, timbre vokal clean Kadeem France sangat kebangetan miripnya dengan Chino Moreno, dan kalau dipikir-pikir sound ketiga lagu mellow tersebut sudah terlebih dahulu dieksplor oleh kompatriot mereka FIGHTSTAR, yang sejak pertengahan 2000’an, hanya saja eksekusi LOATHE berasa lebih nendang output-nya. Apabila penilaian hanya berdasarkan pada orisinalitas, mungkin ‘I Let It in and It Took Everything’ sudah pasti dapat nilai jeblok, karena jumlah part yang bisa bikin déjà-vu ke band yang ini-dan itu gak sedikit. Namun apabila mempertimbangkan faktor lain seperti performance, songwriting, hingga produksi yang near flowless (untuk ukuran sebuah album metalcore modern), tentunya LOATHE sudah terbilang sangat berhasil, tinggal menunggu faktor hoki saja yang berbicara, apakah mereka bisa jadi seperti BRING ME THE HORIZON, ARCHITECTS, WHILE SHE SLEEPS, ENTER SHIKARI, yang bisa sukses dan langgeng terus atau malah tenggelam sia-sia seperti nasib ratusan band potensial asal UK lainya, yang menghilang begitu saja karena pamornya tetap kalah dari band seberang kolam. (Peanhead)
8.0 out of 10