fbpx

ALBUM REVIEW: DARKEST HOUR – PERPETUAL TERMINAL

DARKEST HOUR ‘Perpetual | Terminal’ ALBUM REVIEW

MNRK Heavy. February 23th, 2024

Metalcore

Dedengkot melodic metalcore, DARKEST HOUR, setelah tujuh tahun tak begitu kedengeran namanya, akhir bulan Februari ini akhirnya melepaskan album baru, ‘Perpetual | Terminal’, lewat label rekaman baru MNRK Heavy (formerly known as eOne). Bagi yang udah ngikutin aliran metalcore sejak awal atau pertengahan 2000’an, nama DARKEST HOUR tentunya sudah tidak asing lagi, meskipun tak setenar KILLSWITCH ENGAGE, SHADOWS FALL, CALIBAN, POISON THE WELL atau HEAVEN SHALL BURN, grup asal Washington, D.C. ini tak kalah berpengaruh, dimana EP perdana ‘The Prophecy Fulfilled’, berserta empat album pertama mereka, ‘The Mark of the Judas’, ‘Hidden Hands of a Sadist Nation’, dan ‘Undoing Ruin’ telah menjadi artefak penting aliran metalcore. Namun hal paling penting yang berhasil membuat DARKEST HOUR termasuk langgeng, selain karena dedikasi tentunya juga karena faktor konsistensi, meskipun sempat merilis flop yaitu album self-titled, yang mencoba mendobrak pasar menstrim tapi gagal, namun John Henry, Mike Schleibaum, Aaron Deal, dan Travis Orbin langsung menebus kesalahan mereka lewat ‘Godless Prophets & the Migrant Flora’, yang mendandakan kembalinya DARKEST HOUR kejalan yang baik dan benar.

‘Perpetual | Terminal’ langsung mendobrak dengan tiga trek killer, “Perpetual Terminal”, “Societal Bile”, dan “A Prayer to the Holy Death”, ketiganya menebarkan racun melodic death/metalcore khas mereka, yang rada-rada mengingatkan pada era 2000’an IN FLAMES, AT THE GATES, hingga AMON AMARTH, selanjutnya ada “The Nihilist Undone”, nomor yang masih punya cita rasa Gothenburg, dengan sentuhan lead nyantol banget. Sayangnya “One With the Void” DARKEST HOUR seperti mencoba kembali menggapai skena Modern Rock/Metal, lengkap dengan komposisi radio friendly, tone dan tekstur gitar pasaran, dan vokal yang whiny parah kek Matt Tuck-nya BFMV, untungnya gak ada breakdown klise, berikutnya ada interlude instrumental singkat “Amor Fati”, dimana gitaris baru Nico Santora memerkan solo gitar singkatnya, sebagai extended coda track sebelumnya. Menuju lagu kelima dan keenam, “Love is Fear” dan “New Utopian Dream”, DARKEST HOUR mencoba melebarkan sayap lewat aransemen nyerempet post-thrash/groove metal yang sangat headbangable, tapi setelah dua trek nendang, John Henry lagi-lagi slowing down di “Mausoleum”, untungnya racikannya lebih oke dari “One With the Void”, menampilkan kontras antara akusik/distorsi, dengan melodi simple tapi sangat ngena.

Dalam menit-menit akhir ‘Perpetual | Terminal’, DARKEST HOUR masih melontarkan bola-bola panas, “My Only Regret” terdengar kayak d-beat  banget, mungkin para personilnya pas lagi menulis materi lagi keseringan dengerin DISFEAR, dimana Tomas Lindberg (AT THE GATES) sejak ’98 jadi pentolannya, lalu lagu pamungkas “Goddess of War, Give Me Something to Die For” juga cukup epik, dan bukti bahwa metalcore gak perlu harus jadi nge-pop, djent-y, atau terjerumus beatdown untuk jadi relevan di masa sekarang. Memang, “Perpetual | Terminal”, belum mampu mengalahkan “Godless Prophets & the Migrant Flora” dari segi overall quality, karena bagian pertengahan album yang agak merusak flow dan emang enggak banget, selain itu produksinya agak terlalu steril dan bersih, kebanting jauh sama rilisan sebelumnya yang dikerjain Kurt Ballou dan Alan Douches, seandainya 3-4 lagu di­ potong dan dijadiin EP aja, saya rasa “Perpetual | Terminal”, bakalan lebih fokus dan nendang, jadi all killers no fillers, tapi ya nasi sudah jadi bubur, tapi setidaknya album ini masih lumayan nampol untuk membuka 2024. (Peanhead)

8.3 out of 10