ARCHITECTS ‘The Sky, the Earth & All Between’ ALBUM REVIEW
Epitaph. February 28th, 2025
Metalcore/Alternative metal

Meskipun dari segi popularitas semakin meroket, dan nama ARCHITECTS terus mengekor rapat BRING ME THE HORIZON sebagai band heavy rock asal UK paling ngetop saat ini, tetapi dari segi kualitas album, semua LP pasca ‘Holy Hell’ (2018) bisa dibilang merosot tajam. Memang, ‘For Those That Wish to Exist’ (2021) berhasil membawa mereka ke puncak UK Albums Top 100, namun di luar “Black Lungs”, “Impermanence”, “Animals”, dan “Goliath”, lagu-lagu lain dari album tersebut kagak ada nampolnya sama sekali. Setahun berselang, dirilislah ‘The Classic Symptoms of a Broken Spirit’ (2021) yang bahkan terdengar tak ada taringnya sama sekali, sudah dicoba dengarkan berkali-kali pun, yang agak nyantol paling cuma “tear gas”, itu pun lagunya sudah terdengar kelewatan generik dan terkadang bikin cringe sendiri pas didengerin. Karena full-length kesepuluh mereka banyak dikritisi fans lama, akhirnya ARCHITECTS mencoba menggodok secara lebih matang album kesebelas mereka, ‘The Sky, the Earth & All Between’, dengan proses rekaman yang berlangsung sepanjang 2023–2024, album ini pun turut melibatkan eks-kibordis BMTH, Jordan Fish, sebagai produser, demi mendapatkan ide-ide yang lebih fresh, karena dua rilisan sebelumnya memang sudah terdengar seperti ARCHITECTS kehabisan bensin.

Dari lagu pertama “Elegy”, sudah terdengar kalau ARCHITECTS memang lagi mencoba balik ke basic aliran metalcore yang mempopulerkan mereka dulu, dengan riffing, gebukan drum, breakdown, hingga vokal yang cukup gahar. Tapi entah kenapa pas Sam Carter masuk clean vocal malah dibuat terlalu overprocessed, padahal tarikan clean sedikit seraknya dulu salah satu daya tarik tersendiri ARCHITECTS. Trek berikutnya, “Whiplash”, punya nuansa nu-metal pekat dengan kocokan gitar bouncy dan big chorus ala LINKIN PARK dkk, dengan sedikit twist berupa breakdown galak di akhir. Grup ini juga belum kendor di nomor ketiga, “Blackhole”, yang lumayan djenty genjrengannya, tapi sayangnya bagian chorus-nya terlalu klise. Untungnya ada selipan guitar solo yang bikin lagunya agak lebih segar dikit. Sayangnya, band ini belum mau back to the roots sepenuhnya lalu mengalienisasi pendengar baru yang masuk di dua album kemarin, karena “Everything Ends” merupakan sebuah nomor pop rock tulen yang nabrak banget dengan tiga track sebelumnya. Sedangkan dalam lagu kelima ARCHITECTS ngajak HOUSE OF PROTECTION nimbrung bareng buat bawain “Brain Dead” yang cita rasa hardcore punk-nya kuat.
Semangat gua buat dengerin album ini tapi langsung buyar pas masuk bagian pertengahan. “Evil Eyes” coba-coba memasukkan unsur R&B kontemporer tapi malah jadi kayak versi inferior SPIRITBOX. “Landmines” lumayan catchy dan enjoyable sih, tapi produksi terlalu sterilnya bikin males dengerin kadang-kadang. Sedangkan “Judgement Day” menjadi percobaan kesekian kali ARCHITECTS mengakusisi aliran industrial metal, tapi lagi-lagi gatot karena gak ada edge-nya sama sekali. “Broken Mirror” terdengar seperti ratusan band lain di modern butt rock playlist di Spotify, yang hambar banget. Dari semua lagu di bagian pertengahan hingga akhir, yang bener-bener nendang hanya “Curse”, karena terdengar lebih dekat dengan sound lama ARCHITECTS dan mungkin ada faktor udah sering denger juga pas main WWE 2K25. Selanjutnya, “Seeing Red” sebenernya sudah lumayan, tapi bagian vokal backing pake choir anak-anak-nya akhirnya bikin langsung jadi ilfil parah. Lalu, nomor penutup “Chandelier” juga payah banget, emosinya juga gak dapet sama sekali. Seandainya ‘The Sky, The Earth & All Between’ dikemas sebagai EP dengan hanya memasukkan lima lagu pertama dan “Curse” saja, mungkin hasilnya bakalan lebih baik, dan langsung on-track menjadi karya terbaik ARCHITECTS semenjak ‘Holy Hell’. Tapi karena dipaksa jadi album penuh yang dipenuhi lagu-lagu filler dan eksperimentasi gagal, ujung-ujungnya membuat album kesebelas mereka alih-alih jadi return to form, justru jadi flop untuk ketiga kali beruntun. (Peanhead)
6.0 out of 10