ALCEST ‘Les Chants de l’Aurore’ ALBUM REVIEW
Nuclear Blast. June 21th, 2024
Blackgaze
Tidak seperti album-album ALCEST lain semenjak mini-album ‘Le secret’ (2007) sampai ‘Spiritual Instinct’ (2019), yang biasanya hanya berjarak maksimal 3 tahun, LP ketujuh ALCEST, ‘Les Chants de l’Aurore’, jelas menjadi yang paling lama masa penggodokannya, tetapi hal tersebut masih sangat dimaklumi, pasalnya, sebagai pionir post-black metal/blackgaze, setiap rilisan ALCEST diumumkan, pasti bakal langsung dihantui ekspektasi tinggi dari para pendegar setianya, jadi harus digodok secara hati-hati. Sudah delapan tahun terakhir ini, Neige dan Winterhalter juga lagi on fire banget, karena pasca ‘Shelter’, yang lumayan medioker sekaligus hambar karena membuang hampir semua pengaruh metal mereka, ALCEST lalu hanya memerlukan waktu selama 32 bulan untuk melepaskan karya penebusan mereka, ‘Kodama’, yang sudah kembali ke jalan yang benar, sekaligus berhasil menyempurnakan formula blackgaze yang duo ini selalu otak-atik sejak ‘Écailles de lune’, alhasil full-length yang terinspirasi oleh Princess Mononoke karya Hayao Miyazaki tersebut banyak diagung-agungkan sebagai album penuh terbaik ALCEST hingga saat ini. ‘Spiritual Instinct’ pun mampu menjadi suksesor paling masuk akal, dengan tone lebih gelap, dan lagu-lagu yang lebih approachable, membuat band asal Paris ini berhasil menggaet fans baru, berkat materi lebih radio-friendly dan sokongan mesin promosi Nuclear Blast Records.
“Komorebi”, yang didaulat sebagai lagu pembuka, sesuai judulnya (sinar matahari yang terpancar dari dedaunan rimbun) memang punya nuansa terang benderang, dengan aransemen yang kontras banget, karena menggunakan gulungan double bass dan gebukan blackened blastbeat, berbanding terbalik dengan vokal dan riff gitar gembira dan syahdu banget, sedangkan “L’Envol” seperti mencoba meniti diantara gelap dan terang (lengkap dengan bagian harsh vocal di penghujung), yang memang sudah jadi signature ALCEST dari awal, ditambah sekarang produksinya memang aduhai banget, hasil mixing Chris Edrich lalu mastering Mika Jussila luar biasa maknyus, Lagu nomor tiga “Améthyste” punya komposisi dan struktur lagu yang lebih medok post-black tapi atmosfernya uplifting parah, dan lagi-lagi Winterhalter membuktikan mengapa ia sekarang sering disebut sebagai salah satu drummer metal paling berkarakter selain Jamie St. Merat, Neige hoki banget dulu dapet drummer pocket satu dari sejuta macam dia. Selanjutnya ada “Flamme Jumelle”, yang menjadi trek paling catchy dalam ‘Les Chants de l’Aurore’, cuma entah kenapa nyasar scream sekelebat yang sebenernya gak perlu banget.
Setelah rehat sejenak selama hampir 3 menit dengan “Réminiscence”, ALCEST mengundang Haruna Nakaie dalam “L’enfant de la lune (月の子)”, untuk memberikan narasi berbahasa jepang pada intro, additional vocal, dan juga memainkan gamba, dalam track yang bisa dibilang quintessential ALCEST banget, sekaligus menjadi materi paling mepet ke ‘Spiritual Instinct’ dari segi tone, agak gelap namun dengan secerca cahaya harapan pada part akhir. Sayangnya meski empat lagu pertama oke banget, lima belas menit akhir “Les Chants de l’Aurore” kayak nanggung, “L’enfant de la lune…” menurut saya secara kualitas cukup jomplang dari nomor-nomor sebelumnya dan berakhir sebelum mencapai high point, belum lagi lagu terakhir ‘L’Adieu’ hanya terasa seperti extended outro, karena lagu mellow ini malah bikin semakin gamang konklusinya, mungkin efeknya bakal beda seandainya lagu penultimate-nya lebih kuat dan greget, macam “Oiseaux de proie” dari ‘Kodama’ atau “Solar Song” dari ‘Écailles de lune’. Walaupun dua lagu terakhir kurang nampol, “Les Chants de l’Aurore” masih menjadi album ALCEST yang impresif, disokong “Komorebi”, “L’envol”, “Améthyste”, dan “Flamme jumelle”, yang sudah pasti langsung masuk greatest hits dan live set ALCEST di kemudian hari, tapi kalo dibandingkan dengan ‘Kodama’ dan ‘Spiritual Instinct’ yang moncer dari awal hingga akhir sih, masih jauh men!!!. (Peanhead)
8.5 out of 10