Ibarat suatu keranjang, kompleksitas suatu karya terkadang memiliki ambevalensi nilai yang tidak dimengerti, terasa menteror, membuat salah tingkah, mengundang kontroversi bahkan membuat kita marah. Ia muncul sebagai bentuk ketidaksepahaman dengan sedikit penyimpangan sejauh perlu, bukan karena menyepelekan bentuk ‘kontrak sosial’ melainkan mencoba untuk menampilkan berbagai macam grafis-partikular yang saling bertentangan secara wajar. Merangsang untuk menggeledah sisi-sisi misterius dalam pengalaman keseharian tanpa nyinyir memperkarakan formalitas harfiah berlebihan.
Ada godaan yang kuat untuk melihat keberkaitan antara isi dan bentuk. Nah, pada titik ini saya selalu kehabisan nafas atau katakanlah selalu nyaman dengan berbagai deskripsi mengerikan yang selalu mereka hadirkan. Darah berperan sangat jahat dengan nyaman mengangkat kenikmatan baru yaitu: Takutlah pada garis tanganmu sendiri, mata tidak berfungsi untuk melihat melainkan untuk mencabik dengan serta-merta membuang segala unsur yang masuk akal, usus anda akan terburai karena anda dapat egois sedang yang lain baik hati. –mari teruskan.
Tersirat luapan yang amat tajam bahkan nyaris kejam ‘saya membenci dunia ini beserta segala isinya’ dengan penuh keteguhan saya akan merawatnya dengan kegelisahan dan menukarkannya dengan kebosanan tentu saja berasal dari impian muram, penuh luka, satu orang lawan semua, mencungkil mata teruntuk memperhebat novel petualangan. Lebih tepatnya agar tidak menjadi buta sama sekali karena syarat untuk menjadi penikmat tulen adalah memiliki kegirangan buruk dengan segera merubahnya menjadi kepanikan dan mengakhirinya supaya tidak terbaca lagi. – ah, sudah cukup.
Mari saya perkenalkan sedikit saja, jika handai taulan sekalian belum mengenal kawanan makhluk bandel bernama Morbid Deathart.
Tercatat 2006 adalah tahun pengesahan kolektif numinous sekaligus menautkan erat antara mitos dan puisi, sataniah dan ekspresi lahiriah dari afeksi beserta jeritan, teriakan, ketakutan, kemarahan, dan tentunya pada kehendak tipologis dari kegiatan suasana hati. Nah pada awalnya mereka hanya berdua, seorang menamai dirinya Death Mental, seorang lagi menamai dirinya Rot. Ditahun berikut, tepatnya 2010 saya mendapat kejutan ternyata mereka tidak hanya berdua Morbid Deathart sekarang berempat. Tergabunglah dua tokoh, satu bernama Tremor dan satu lagi bernama Black Hammer.
Jika mengintip karya-karya mereka ada dua hal unik yang cukup menarik perhatian, pertama tentu saja fenomena cyber-Culture yang telah melahirkan ruang dan lalu lintas perspektif secara baru,dan tentulah sebuah celah berpenghasilan finansial secara baru pula. Ambilah contoh dari portofolio di akun Myspace mereka, dari Misery Index, Birdflesh, The Arson Project, Lycantrophy, hingga Godstomper adalah bukti sahih bagaimana mata-rantai internet mampu menjembatani antara kota Cimahi di Indonesia dengan Maryland di Amerika, ibarat sebuah alat jikalau berfungsi secara baik maka tidak perlu lagi dipertanyakan validitasnya.
Kedua, jika dipukul rata bahwasanya sebuah karya tidak akan berhasil jika tidak memiliki daya provokatifnya. Nah, pada titik ini agaknya terikat pada soalan sosio-kultural. Ambilah contoh hubungan antara sang seniboy dengan realitas eksistensialnya yang konkrit, bagaimana pergumulan dinamika pengalaman-pengalaman dirumuskan lantas dilempar ke medan publik dalam memandang realitas secara bersama, jikalau yang ini ibarat lensa atawa kacamata.
Dan yang terakhir, Morbid Deathart bersama Maternal akan menghadirkan produk kolaboratif bertitel DaimonLiberales yang tentunya adalah proyeksi ideal dihadapan gejala-gejala yang tidak ideal.
Dan ini sebagian dari karya-karya mereka