WE ARE WHAT WE ARE
Sutradara: Jim Mickle
USA (2013)
Review oleh Tremor
We Are What We Are adalah sebuah film drama horor yang ditulis dan disutradarai oleh Jim Mickle, seorang sineas yang sebelumnya pernah menyutradarai beberapa film horor lain seperti Mulberry St (2006) dan Stake Land (2010). Banyak yang beranggapan film ini sebagai remake dari film tahun 2010 asal Meksiko dengan judul yang sama (yang dalam bahasa aslinya berjudul Somos Lo Que Hay), tapi sebenarnya kedua film tersebut memiliki alur cerita dan setting yang sama sekali berbeda. Saya lebih suka menyebut We Are What We Are versi Mickle sebagai sebuah bentuk imajinasi ulang yang ide dasarnya memang terinspirasi dari Somos Lo Que Hay. Dalam salah satu wawancaranya, Mickle sendiri lebih senang menyebut film ini sebagai companion piece dari Somos Lo Que Hay.
Sangat sulit untuk menulis review film ini tanpa membeberkan sedikit spoiler. Dulu, saat pertama kali menonton film ini, saya sama sekali tidak mengetahui garis besar plot film ini sedikitpun, dan saya sangat menikmatinya. Sepertinya Mickle memang sengaja membungkus alur film ini dengan kemisteriusan sejak awal. Ia menyembunyikan semua clue atas apa yang sebenarnya terjadi, dan membuat penonton penasaran. Saat semuanya mulai terungkap secara perlahan, itu merupakan suatu pengalaman menonton yang menyenangkan bagi saya. Bagi kalian yang ingin mendapatkan pengalaman menonton seperti itu, mungkin bisa berhenti membaca review ini dan langsung menontonnya saja, karena saya jamin pengalamannya akan berbeda kalau kamu sudah mengetahui garis besar cerita film ini. Jadi, hati-hati, spoiler alert dalam paragraf-paragraf berikutnya!
Dalam film horor, daerah pelosok dan pinggiran selalu menjadi tempat yang dipenuhi dengan elemen horor yang siap dijadikan ide dasar untuk kemudian dikembangkan menjadi sebuah film atau cerita, dari mulai penyakit berjangkit, hingga psikopat. Sebut saja beberapa contohnya seperti The Texas Chainsaw Massacre (1974) dan Children of the Corn (1984). Film horor berlatar desa kecil dan pedalaman biasa disebut sebagai backwood / rural horrors, dimana elemen horornya adalah ketakutan manusia atas daerah pelosok, dengan anggapan bahwa penduduknya sedikit tertinggal dibanding mereka yang tinggal perkotaan. Sebenarnya ini adalah sebuah bentuk paranioa berlebihan, dan bisa membentuk stigma buruk atas masyarakat pedesaan. Tapi mari kita tidak perlu memikirkan hal tersebut sejenak, karena sebuah film harus dilihat sebagai sebuah hiburan yang tidak melulu mendikte cara kita berpikir. Kembali ke soal rural horror, daerah pelosok kadang juga bisa dipenuhi oleh para pemeluk sekte agama dan budaya fanatik yang memiliki tafsirnya sendiri atas pandangan agama mereka, atau bahkan menganut sekte dan budaya yang sama sekali berbeda dari umumnya, seperti yang bisa kita temui di film the Ritual (2018), The Village (2004), atau season pertama dari True Detective (2014). Tapi We Are What We Are tidak bercerita mengenai sebuah sekte, melainkan sebuah keluarga kecil yang diam-diam mempraktekan kanibalisme secara turun temurun. Dan berbeda dengan film horor bertema kanibal yang pada umumnya adalah festival darah dan isi perut, We Are What We Are justru membungkus cerita kanibalisme dengan pendekatan film drama, yang menurut saya pribadi, justru menambah sisi seram dari ide utama di film ini.
Film ini berpusat pada keluarga Parkers, sebuah keluarga beranggotakan satu ayah, satu ibu dan tiga anak. Mereka hidup di pinggiran sebuah desa kecil di Amerika di pinggir sebuah sungai kecil dimana mereka hidup tanpa TV, tanpa telepon, dan lampu berlebihan di dalam rumahnya. Walaupun sepintas mereka tampak hidup di masa lalu, tetapi sebenarnya mereka hidup di jaman modern, dimana telepon genggam sudah eksis di masyarakat umum. Mereka juga memiliki lahan tanah yang cukup luas, sehingga sebagian dari tanah tersebut mereka sewakan sebagai lahan parkir untuk mereka yang tinggal di dalam karavan.
Suatu hari, badai besar melanda daerah dimana mereka tinggal, hingga desa mereka terisolasi dari kota terdekat. Bersamaan dengan hal tersebut, secara misterius Emma Parker (ibu) mendadak meninggal di luar sebuah toko sehabis berbelanja. Kabar buruk ini pun sampai pada keluarga Parker dan membuat Frank Parker (ayah) beserta ketiga anaknya (Rose, Iris, dan Rory) dilanda rasa duka yang mendalam. Dokter setempat yang bernama dokter Barrow pun melakukan otopsi pada jasad Emma dan menemukan kejanggalan pada bagian otak Emma, yang ia sendiri belum bisa pastikan apa.
Frank Parker adalah sosok kepala keluarga yang berusaha menjaga nilai-nilai tradisi dan leluhur dalam keluarga mereka dengan sangat strict. Dan Emma Parker sebagai perempuan tertua di keluarga, selama ini memiliki tugas penting dalam sebuah tradisi penting dalam keluarga tersebut. Mereka menjalankan sebuah ritual “keagamaan” tahunan yang pernah dilakukan secara turun menurun oleh nenek moyang mereka: berpuasa selama beberapa hari, membunuh manusia sebagai korban persembahan, memasak dan menyantap daging tersebut sebagai bentuk pengucapan syukur dalam sebuah hari yang mereka rayakan sebagai Lambs Day. Semacam Thanksgiving, tetapi dengan daging manusia. Ritual ini adalah sebuah rahasia gelap keluarga Parker. Frank sekeluarga sudah melakukannya selama bertahun-tahun. Sejarah dari ritual ini ditulis dalam sebuah buku catatan harian tua peninggalan nenek moyang Parker, yang mulai mereka praktekkan secara internal sejak tahun 1780-an. Kisah ini sempat sedikit diceritakan dalam We Are What We Are lewat lewat narasi anak tertua mereka, Rose, yang sedang membacakan jurnal tersebut. Mungkin ritual tersebut sudah lama tidak dilakukan, dan sepertinya baru Frank Parker lah yang mulai mempraktekkannya kembali. Walaupun ritual Lambs Day terdengar seperti sesuatu yang relijius, tetapi justru sebenarnya adalah kebalikannya.
Kematian Emma yang sangat mendadak beberapa hari sebelum Lambs Day tersebut membawa sebuah perubahan besar pada keluarga Parker, dimana Frank sang ayah bersikeras bahwa Lambs Day tetap harus dijalankan, karena itu adalah sebuah tradisi keluarga. Kini giliran Rose sebagai anak perempuan tertua yang harus menggantikan peran penting yang sebelumnya dilakukan oleh ibu mereka: menyembelih, mencincang dan memasak daging manusia untuk kemudian dimakan bersama-sama dalam sebuah jamuan makan malam yang disertai doa dan pengucapan syukur.
Rose sama sekali tidak siap untuk menggantikan peran ibunya, sementara adiknya yang bernama Iris enggan membantu dan diam-diam ingin hidup secara “normal” seperti layaknya keluarga lain. Namun Frank adalah sosok ayah yang sangat ditakuti oleh anak-anak mereka. Pada suatu malam Frank pun mulai “berburu” dan menculik seorang perempuan muda dan menyekapnya di ruang bawah tanah. Perempuan inilah yang akan dijadikan “domba” untuk disembelih. Suka tidak suka, Rose (dibantu Iris) pun harus melakukan apa yang selama ini menjadi tradisi dalam keluarga mereka.
Keadaan menjadi semakin runyam saat dokter Barrow yang sedang membawa jalan-jalan anjingnya ke sungai, menemukan sebuah potongan kecil tulang yang ia yakini sebagai tulang manusia. Rupanya badai besar yang sebelumnya melanda daerah tersebut, menggerus tanah di sekitar sungai dekat rumah Parkers. Keluarga inilah yang bertanggung jawab atas hilangnya banyak sekali perempuan muda di desa kecil tersebut selama beberapa dekade terakhir, dan tulang-tulang mereka yang dikubur di tanah pun ikut tergerus badai dan terbawa arus sungai. Saat diperhatikan lebih jauh lagi mengenai tulang tersebut, dr. Barrow yakin bahwa tulang tersebut adalah tulang yang sempat direbus, dan terdapat beberapa bekas sayatan yang berarti daging yang sebelumnya menempel pada tulang tersebut dilepas dengan pisau layaknya tukang jagal memisahkan daging dan tulang. Ia pun mendatangi sherif, namun sang sherif tidak menanggapinya dengan serius. Dr. Barrow adalah satu dari banyak orang tua yang anak perempuannya pernah hilang di tahun-tahun sebelumnya, dan sang sherif berpikir bahwa Dr Barrow adalah orang yang sangat terobsesi dan menghubung-hubungkan semua hal dengan misteri anaknya yang hilang, termasuk soal tulang manusia yang ia temui di sungai. Namun Dr. Barrow tidak menyerah. Dibantu dengan deputi muda desa tersebut, mereka berdua melakukan investigasi lebih lanjut.
We Are What We Are bisa saja dilabeli sebagai horor kanibal, tetapi dengan darah, isi perut dan tingkat gore yang sangat minim, namun memiliki beberapa scene yang intens walaupun alur film ini dibangun dengan cukup lambat. Kekuatan film ini adalah cerita dan mood, dengan plot dan intriknya cukup padat dan unik, sesuatu yang jarang bisa ditemui di dalam film horor dengan tema serupa.
Penyakit misterius yang diidap oleh Emma (dan Frank) Parker, disebut sebagai Kuru Disease, yang merupakan sebuah penyakit yang memang benar-benar ada di dunia nyata. Penyakit ini menyerang otak dan sistem saraf manusia ini pertama kali ditemukan di penduduk Fore Selatan, pegunungan Papua Nugini bagian timur. Pada tahun 1950-an, sekelompok dokter Australia mulai melakukan penelitian untuk mencari tahu penyebab pasti penyakit yang secara ekslusif hanya menyerang penduduk Fore Selatan tersebut. Saat itu masyarakat Fore memiliki sebuah kebiasaan memakan jenazah kerabat mereka yang sudah meninggal. Hingga akhirnya pada tahun 1960an saat kanibalisme mulai dilarang secara hukum di Papua Nugini, dan jumlah penyakit kuru mulai berkurang secara drastis. Akhirnya diketahui bahwa penyakit Kuru disebabkan oleh prion (istilah medis untuk protein pembawa penyakit), dimana penyakit dibawa di dalam darah dan dikonsentrasikan di jaringan otak. Transmisi penyakit ini adalah melalui kebiasaan makan yang tidak “biasa”: kanibalisme.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com