fbpx

MOVIE REVIEW: VIVARIUM (2019)

VIVARIUM
Sutradara: Lorcan Finnegan

Irlandia / Denmark / Belgia  (2019)

Review oleh Tremor

Vivarium adalah sebuah film sci-fi thriller karya sutradara / penulis asal Irlandia, Lorcan Finnegan, dimana ia menggambarkan imajinasi yang cukup liar soal kehidupan keluarga kecil modern layaknya sebuah jebakan. Kalau biasanya film adalah media hiburan, film yang satu ini justru sebaliknya: misterius, enigmatik, gelap, dan frustrating. Vivarium adalah sebuah film metafora penuh teka-teki yang cukup cocok untuk ditonton sebagai “hiburan” di masa isolasi. Walaupun tema film ini bukan soal sisi gelap teknologi, tapi banyak orang membandingkan Vivarium dengan serial Black Mirror karena memiliki tampilan dan tone yang terasa mirip, dan saya rasa perbandingan itu tidak berlebihan, apalagi setelah menyadari betapa gelapnya film ini.

Gemma adalah guru TK yang mencintai pekerjaannya, dan ia mencintai anak kecil. Tetapi dalam beberapa percakapan, Gemma menunjukkan bahwa ia tidak memiliki rencana untuk memiliki anak kandungnya sendiri. Ia pikir menjadi orang tua adalah sesuatu yang masih sangat jauh di masa depannya. Sementara kekasih Gemma yang bernama Tom adalah seorang tukang kebun yang memiliki angan-angan sederhana, memiliki mobil sendiri untuk menunjang pekerjaannya. Seperti kebanyakan pasangan muda, Gemma dan Tom memutuskan bahwa sudah waktunya bagi mereka mencari rumah idaman untuk tinggal bersama.

Suatu hari sepulang Gemma bekerja, mereka mampir di sebuah kantor pemasaran perumahan bernama Yonder dan langsung disambut oleh agen sales-nya yang berperilaku ganjil dan agak menyeramkan bernama Martin. Sebenarnya mereka hanya ingin melihat-lihat brosur saja secara selewat, tetapi Martin bersikeras ingin memperlihatkan langsung unit rumah di perumahan Yonder. Walaupun enggan, akhirnya Gemma dan Tom setuju untuk mengikuti mobil Martin mengunjungi lokasi perumahan Yonder di pinggiran kota, yang menurut klaim Martin: lokasinya “cukup dekat dan cukup jauh.” Toh tidak ada ruginya mereka ikut hanya untuk melihat-lihat saja.

Sesampainya di sana, Gemma dan Tom mendapati bahwa perumahan Yonder berisi rumah-rumah berwarna hijau yang berbentuk identik dan monoton dengan jalanan yang seperti tak berujung. Sungguh membosankan sekaligus mengerikan. Pemandangan ini sangat sureal, apa lagi dilengkapi dengan deretan awan yang juga berbentuk monoton di langitnya, yang tampak seperti langit buatan seperti dalam dunia The Simpsons. Saya sendiri merasa tidak nyaman saat melihat kemonotonan ini. Sejak kita melihat Yonder, ada perasaan disorientasi yang mungkin bisa membuat penonton merasa sedikit pusing dan mual, sekaligus muak. Bisa dipahami mengapa Gemma dan Tom pun semakin tidak tertarik. Tetapi demi bersikap sopan, mereka terus mengikuti mobil Martin hingga akhirnya tiba di sebuah rumah bernomor 9. Dengan antusias Martin mengundang mereka masuk ke dalam rumah dan mengajak mereka berkeliling ke dalam setiap ruangannya. Saat akhirnya dipersilahkan melihat halaman belakang rumah, pasangan muda tersebut hendak berkata jujur pada Martin bahwa rumah ini bukan jenis rumah yang mereka cari. Tetapi Martin sudah menghilang pergi meninggalkan mereka.

Dengan perasaan bingung bercampur geli, Gemma dan Tom kembali ke mobil untuk pulang. Tetapi setelah berputar-putar di dalam komplek perumahan Yonder, mereka tidak berhasil menemukan jalan keluar. Koneksi telepon dan internet mati, dan semua rumah yang mereka lewati tampak kosong tak berpenghuni. Tidak ada satu orang pun terlihat di dalam perumahan Yonder. Lebih buruknya lagi, segala upaya mereka untuk mencari pintu keluar selalu mengembalikan mereka ke depan rumah yang sama, rumah nomor 9. Rasa muak, frustrasi dan disorientasi semakin menguat, hingga hari mulai gelap dan mobil mereka kehabisan bensin. Mereka kembali berhenti di depan rumah nomor 9 dan terpaksa bermalam di sana karena kelelahan. Keesokan harinya, Tom memiliki ide bagus: naik ke atap rumah untuk melihat ke arah mana mereka harus pergi berjalan kaki. Tapi apa yang ia lihat dari atap rumah sangat mengejutkan. Kemanapun mata memandang, hanya ada deretan rumah hijau monoton dengan langit yang juga monoton. Gemma dan Tom perlahan-lahan menyadari bahwa mereka telah terjebak dalam sebuah mimpi buruk abadi yang nyata sekaligus absurd, layaknya labirin tak berujung tanpa ada jalan keluar.

Setelah gagal dalam segala usaha melarikan diri dari Yonder, akhirnya mau tidak mau mereka terpenjara dan menetap di sana sebagai satu-satunya penghuni di dalam perumahan sureal Yonder. Sepertinya ini memang sebuah jebakan yang sudah didesain sedemikian rupa. Sejak awal, mereka menemukan stok makanan jatah harian sudah dipersiapkan dalam sebuah kotak di luar rumah setiap pagi. Mereka dipaksa bertahan hidup dalam lingkungan yang sama sekali tak mereka pahami, hingga suatu hari kardus lain di depan rumah yang berisi bayi laki-laki. Pada kardus tertulis sebuah pesan: “besarkan anak ini untuk mendapat kebebasan”. Di sini saya agak berharap kalau plot film ini memiliki arah yang mirip dengan The Truman Show, tetapi saya salah. Vivarium jauh lebih gelap dari Truman Show.

Bayi yang dititipkan pada Gemma dan Tom jelas bukan anak manusia biasa. Ia tumbuh dengan kecepatan tidak wajar dan mampu berbicara dengan suara Tom dan Gemma saat anak ini sudah agak lebih besar. Ini sangat mengganggu. Anak yang tak pernah diberi nama ini dengan sempurna mampu mengingat setiap percakapan (dan perdebatan) yang pernah keluar dari kedua “orang tuanya”, lalu mengulang percakapan tersebut di depan mereka. Ia juga selalu memekik panjang setiap kali permintaannya tidak dituruti. Dan lebih buruknya lagi, anak ini tidak pernah meninggalkan Gemma dan Tom sendirian. Ia selalu ada di sekitar mereka. Gemma dan Tom terjebak dalam penjara sureal bersama seorang anak yang tak pernah mereka inginkan. Tapi saya harus berhenti menuliskan plotnya sampai disini, karena kalau saya mengungkap lebih banyak lagi, maka kejutan-kejutan suram dari film ini akan hilang.

Dalam Vivarium, penonton akan merasa sama bingungnya dengan Gemma dan Tom, dan tidak pernah bisa yakin atas apa yang sebenarnya terjadi, dan mengapa. Para penonton yang mengharapkan jawaban atas semua misteri dalam Vivarium harus bersiap untuk kecewa karena film ini tidak menawarkan penjelasan dan mungkin memang tidak perlu dijelaskan sama sekali karena bukan itu poin-nya.

Perumahan Yonder sendiri layaknya sebuah tempat menakutkan yang berisi kebahagiaan dan kesempurnaan palsu, dengan segala kemonotonan dan rutinitas, tanpa adanya pilihan lain. Entah berapa bulan atau tahun Gemma dan Tom berada di sana, melakukan hal yang sama setiap harinya hingga “anak” mereka tumbuh dewasa. Kalau dipikir lebih dalam, film ini seakan menggambarkan metafora yang cukup suram mengenai hidup, membuat kita termenung bertanya-tanya apa poin dari segala hal yang kita lakukan dalam hidup. Hal tersebut digambarkan dengan cara yang sangat menyedihkan: bagaimana kita bekerja setiap hari, mengisi hidup dengan kemonotonan, dan terus bekerja hingga kita mati lalu dikubur di dalam tanah. Tapi ide film Vivarium kaya akan metafora tanpa penjelasan, sehingga ia sangat terbuka bagi berbagai interpretasi dari penontonnya. Saya pribadi berpikir bahwa Gemma dan Tom terjebak dalam peran stereotip tipe ibu pengasuh dan ayah yang tidak pernah hadir di dalam penjara mereka. Keduanya sangat kesepian walaupun tinggal satu atap. Tom pergi menyibukkan diri sejak pagi, dan pulang malam hari saat ia sudah sangat lelah hanya untuk tidur, sementara itu Gemma diam di rumah mengurus “anak” yang sangat asing baginya, yang tidak memiliki koneksi apapun dengan dirinya. Aktivitas harian mereka ini bisa saja dipahami sebagai cara mereka menyesuaikan diri dengan realitas baru ini, coping mechanism. Tapi itu membuat kualitas hubungan Gemma-Tom berangsur-angsur semakin menurun.

Vivarium mungkin bukan sebuah film yang bisa dinikmati oleh semua orang, karena memang tidak ada kesenangan dalam film ini. Saya pribadi cukup menikmati pengalaman ini. Saya menonton Vivarium tanpa mengetahui apapun soal film ini sebelumnya, dan saya menikmati setiap kejutannya. Ini adalah salah satu film paling suram yang pernah saya tonton, tapi saya tidak menyesali menonton Vivarium.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com