MOVIE REVIEW: THE RELIC (1997)

THE RELIC
Sutradara:
Peter Hyams
USA (1997)

Review oleh Tremor

Dekade 90-an memang bukan era terbaik untuk film horror, termasuk juga film-film bertemakan monster / creature. Namun sebenarnya ada beberapa harta karun tersembunyi yang datang dari era ini, yang mungkin dibuat hanya dengan satu tujuan utama yaitu menghibur, dari mulai Tremors (1990), Species (1995), Mimic (1997) hingga Deep Rising (1998). The Relic adalah salah satunya, sebuah film monster yang terasa tidak memiliki ambisi apapun selain menjadi hiburan yang cocok ditonton sambil mengunyah popcorn. Film ini diadaptasi dari novel karya Douglas Preston dan Lincoln Child, yang ditulis ulang oleh Amy Holden Jones menjadi naskah film. Sutradara The Relic Peter Hyams adalah seorang sineas yang sebelumnya banyak membuat film action, diantaranya adalah Timecop (1994) dan Sudden Death (1995) yang keduanya dibintangi oleh aktor laga Jean-Claude Van Damme di masa kejayaannya. Maka tak heran ketika Hyams diminta untuk membuat sebuah film monster, film ini secara otomatis akan menjadi film horror monster dengan elemen action, dan tentu akan ada adegan ledakan di dalamnya. Apa yang membuat semua orang di tahun 1997 cukup penasaran dengan The Relic adalah karena proyek ini juga melibatkan mendiang Stan Winston, salah satu master special make-up effects dan creature design terkenal yang memiliki peran besar dalam kesuksesan banyak sekali film fenomenal. Beliau adalah orang yang bertanggung jawab atas beberapa desain monster paling berkesan di sinema sci-fi horor modern, dari mulai robot pembunuh endoskeleton di film Terminator (1984), sang ratu alien dari film Aliens (1986), alien pemburu dalam film Predator dan Predator 2 (1987 & 1990) hingga tentu saja semua dinosaurus animatronik dalam Jurassic Park (1993).

John Whitney, seorang antrologis yang sedang mempelajari suku terpencil di Brazil mengirimkan semua hasil penemuannya ke museum tempatnya bekerja di Chicago menggunakan kargo kapal laut. Kita kemudian diperkenalkan dengan seorang ahli biologi evolusi, Dr. Margo Green, yang juga bekerja di museum science di Chicago tempat di mana John Whitney bekerja. Museum ini sebenarnya merupakan museum ilmu alam. Namun untuk menarik lebih banyak peminat, mereka berencana segera membuka area baru untuk memamerkan berbagai relik dan artefak yang berhubungan dengan tahayul-tahayul di seluruh dunia, termasuk relik batu berbentuk monster kiriman Whitney yang dibungkus dedaunan misterius. Suatu malam, seorang penjaga keamanan di museum itu mati mengenaskan dengan posisi kepala terpisah dari tubuh dan otak yang berceceran di lantai. Pembunuhan ini cukup membingungkan detektif Vincent D’Agosta yang bertugas menyelidiki kasus ganjil tersebut. Ketika para karakter film ini percaya bahwa ada seorang psikopat sadis berkeliaran, para penonton sudah bisa membayangkan bahwa seekor makhluk kuno dari pedalaman Brazil lah yang sedang berkeliaran di dalam museum mencari mangsa. Masalah semakin diperumit dengan malam pembukaan pameran artefak di museum yang akan segera berlangsung di malam berikutnya, dimana banyak politisi dan orang kaya yang akan hadir sebagai tamu undangan, para calon penyumbang dana terbesar untuk museum. D’Agosta meminta agar malam pembukaan itu diundur hingga kasus pembunuhan ini mendapat titik terang, namun walikota Chicago dan pemilik museum mengabaikan peringatan ini. Kini keselamatan semua tamu undangan bergantung pada Dr. Green dan detektif D’Agosta yang harus menghentikan monster tersebut memangsa para tamu.

Nama monster dalam The Relic adalah Kothoga, yang diceritakan sebagai sebuah manifestasi dewa sekaligus iblis kepercayaan suku terpencil di Brazil. Stan Winston dan tim kreatifnya mendesain Kothoga berdasarkan deskripsi samar yang tertulis dalam novel asli The Relic. Dari banyak draft konsep desain monster yang sudah dibuat, akhirnya sutradara Peter Hyams memilih desain favoritnya, seekor monster berukuran gigantik yang memiliki kepala seperti laba-laba dengan tubuh seperti penggabungan antara singa, reptil dan kuda. Winston sendiri banyak menggunakan special effect prostetik tradisional yang cukup solid untuk monster dalam film ini, di mana seluruh detail Kothoga dari mulai tekstur kulit hingga taring-taring tajamnya tampak mengancam dan realistis. Semua gerak leher, kepala, dan ekspresi wajah Kothoga digerakkan menggunakan sistem animatronik yang dikendalikan oleh beberapa operator. Namun karena 1996 adalah tahun di mana special effect CGI sedang sangat berkembang dan mulai banyak digunakan dalam film horor, Winston juga sedikit menggunakan CGI, terutama dalam semua pengambilan gambar yang memperlihatkan sosok Kothoga secara utuh. Kualitas special effect CGI sudah bisa dipastikan tampak jauh lebih buruk dibandingkan special effect tradisional, apalagi kalau ditonton ulang di tahun 2023. Tapi itulah salah satu ciri dari kebanyakan film di era 90an yang mungkin ingin bereksplorasi pada teknologi CGI. Sebagai film monster, tentu para penggemar monster berharap bisa melihat aksi brutal Kothoga dengan lebih jelas dan sering. Sayang sekali kemunculan Kothoga dalam the Relic bisa dibilang cukup singkat. Hal ini diperburuk dengan pencahayaan film ini yang kadang tampak terlalu gelap di banyak adegan pentingnya. Belum lagi hampir sebagian besar adegan pembantaian dalam film ini juga tidak terlalu ditampilkan terang-terangan. Namun dari semua adegan sadis yang offscreen pun kita bisa tetap memahami kalau Kothoga adalah monster yang kejam, dilihat dari banyaknya kepala para korban yang terpisah dari tubuh.

Saya pikir salah satu alasan yang membuat The Relic tidak pernah menandingi film-film monster lain di era yang sama adalah karena film ini terasa terlalu generik. Ada banyak sekali materi dan elemen yang terlalu familiar, khususnya bagi para penonton horror monster. Elemen-elemen ini bahkan sudah terlalu sempurna dalam film-film monster pemangsa seperti seri Alien dan film pertama Predator. The Relic juga mungkin memang tidak original. Plot dasarnya sendiri mengingatkan pada kita dengan film Jaws di mana sang walikota dan petinggi-petinggi kota tetap ingin membuka tempat wisata tetap buka meskipun ada ancaman cukup jelas setelah seseorang meninggal secara tragis. The Relic jelas bukan film yang sempurna. Tetapi itu tidak membuat kesenangan dan sisi hiburan film ini berkurang. Sebagai seorang sutradara yang terbiasa membuat film action, Hyams cukup pandai dalam membangun ketegangan, sekaligus menjadikan The Relic sebagai film monster yang ringan, menghibur, dan dibuat dengan baik. Meskipun bukan film monster terpenting di era 90-an, tapi pemilihan bangunan museum sebagai lokasi yang tepat ditambah dengan terlibatnya Stan Winston, menjadikan film ini cukup diperhitungkan dan memiliki penggemarnya sendiri.