MOVIE REVIEW: THE MONSTER (2016)

THE MONSTER
Sutradara:
Bryan Bertino
Kanada (2016)

Review oleh Tremor

Pada tahun 2008, nama penulis/sutradara Bryan Bertino menjadi pusat perhatian dalam kancah perfilman horror setelah ia merilis debutnya, sebuah film horror home invasion bagus berjudul The Strangers. Meskipun debutnya cukup sukses, entah mengapa dibutuhkan enam tahun hingga Bertino membuat film lagi lewat sebuah percobaan found-footage yang gagal total berjudul Mockingbird (2014). Dua tahun setelah kegagalan Mockingbird, ia bangkit kembali lewat The Monster yang dirilis oleh studio populer A24. Tidak berhenti di situ, film ke-empat Bertino yang dirilis dua tahun lalu, berjudul The Dark and the Wicked (2020), semakin membuktikan bahwa ia adalah seorang sineas yang penuh potensi. Bisa ditebak dari judulnya, The Monster sendiri adalah film creature / monster. Namun karena A24 merilis film ini, bisa dipastikan kalau The Monster bukanlah film monster biasa. Lewat karya slow-burner ini, Bryan Bertino menggabungkan teror monster dengan drama keluarga yang cukup efektif.

Hidup seorang ibu muda bernama Kathy sangat berantakan. Sebagai seorang single parent, ia jelas tidak mampu menjadi ibu. Kathy adalah seorang alkoholik yang frustrasi. Anak gadis Kathy satu-satunya yang masih kecil bernama Lizzy mau tidak mau menjadi korban dari ketidakmampuan Kathy. Saat film baru dimulai, kita bisa menyaksikan bagaimana Lizzy seakan terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya saat ia mengurusi rumah yang berantakan sementara ibunya masih terlelap. Lizzy berencana untuk pergi mengunjungi ayahnya. Kathy yang berjanji akan mengantarkan Lizzy menyadari bahwa bisa jadi mantan suaminya tidak akan mengijinkan Lizzy untuk kembali tinggal bersamanya. Meskipun hubungan Kathy dan Lizzy sudah benar-benar rusak, tapi dalam hatinya yang terdalam Kathy sangat mencintai anaknya. Perjalanan ini bisa jadi adalah kali terakhir ia bisa bersama putrinya. Kenyataan tersebut menghancurkan hati Kathy yang terus menerus menyalahkan diri di sepanjang perjalanan. Mereka berdua melakukan perjalanan darat menggunakan mobil menuju rumah mantan suami Kathy yang berbeda kota. Malam itu hujan turun sangat deras. Mereka sedang melewati jalanan sepi yang dikelilingi hutan saat mobil mereka menabrak seekor serigala yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Insiden ini membuat kerusakan parah pada mobil hingga mesin tidak bisa dinyalakan lagi. Kini Kathy dan Lizzy terdampar di tengah jalanan sepi dan gelap, terjebak di dalam mobil karena hujan lebat di luar tanpa ada satupun mobil lain yang lewat jalur tersebut. Tidak seperti film horror biasanya, telepon genggam mereka mendapat sinyal di lokasi ini. Setelah mereka berhasil menelpon 911, mereka hanya perlu duduk di dalam mobil sambil menunggu datangnya ambulans dan mobil derek. Sambil menunggu, Lizzy mulai menduga bahwa mungkin serigala yang mereka tabrak sedang melarikan diri dikejar sesuatu. Dan mungkin saja bukan tabrakan dengan serigala yang merusak mobil mereka, melainkan sesuatu yang jauh lebih besar. Sialnya, dugaan itu benar. Saat memeriksa bangkai serigala, Lizzy menemukan sepotong gigi taring berukuran sangat besar menancap pada tubuh serigala yang sudah koyak. Di saat yang sama, sesuatu yang besar, kejam dan kelaparan mengintai mereka dari balik kegelapan hutan, menanti waktu yang tepat untuk memangsa. Saat monster tersebut akhirnya muncul, satu-satunya tempat berlindung bagi Kathy dan Lizzy hanyalah mobil mereka. Kini Kathy harus menemukan cara agar mereka berdua tidak menjadi santapan. Ia seakan mendapat kesempatan terakhir untuk melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya: melindungi anak kesayangannya.

The Monster pada dasarnya adalah sebuah pertunjukan yang seluruh bebannya ditopang hanya oleh dua aktris utama saja: Zoe Kazan sebagai ibu dan Ella Ballentine sebagai anak. Keduanya melakukan pekerjaan ini dengan sangat baik. Apalagi sebagai aktor cilik dalam film horror sekaligus drama keluarga, kemampuan Ella Ballentine betul-betul pantas untuk diapresiasi. Selama film berjalan, flashback memori buruk masa lalu dan perasaan bersalah Kathy terus bermunculan. Memori-memori buruk ini memperlihatkan bagaimana hubungan ibu-anak yang disfungsional karena Kathy yang alkoholik seringkali menyalurkan frustrasinya pada Lizzy. Perilaku orang tua seperti ini bisa ditemui dengan mudah dalam kehidupan nyata, dan dari situlah mengapa drama keluarga dalam The Monster bisa terasa relevan dan sangat real bagi sebagian orang yang mungkin memiliki pengalaman pahit di masa kecilnya. Tentu saja adalah hal yang masuk akal kalau kemudian penonton menduga bahwa judul film “The Monster” bisa juga mengacu pada situasi pahit yang harus dihadapi oleh Lizzy kecil. Hubungan mereka sangat kompleks. Terlepas dari ketidaksanggupan Kathy sebagai ibu, penonton bisa melihat dengan jelas bahwa bagaimanapun juga, Kathy sangat mencintai anaknya. Demikian juga sebaliknya, sebenci-bencinya Lizzy pada ibunya, ternyata ia sangat mencintai Kathy. Ketika mereka berdua sama-sama terjebak dalam situasi hidup dan mati inilah penonton bisa melihat seburuk-buruknya Kathy sebagai seorang ibu, ia tetap rela melakukan apapun untuk menjaga putrinya dari bahaya. Kekuatan terbesar dari film ini memang ada pada naskahnya yang dengan baik menjalin peristiwa teror malam itu dengan potongan-potongan flashback yang proporsional untuk menggambarkan kerumitan hubungan Kathy dan Lizzy.

Perlu diingat bahwa The Monster bukanlah film horor sejenis Godzilla, Predator atau seri Cloverfield. Para penggemar film horor monster yang berharap banyak untuk melihat monster dengan desain imajinatif boleh sedikit kecewa, karena penampakan sang monster dalam film ini memang cukup minimalis dan samar. Di hampir sepanjang durasi film ini, sang monster lebih sering muncul dalam bentuk sosok gelap yang mengintai layaknya teror xenomorph dalam film Alien (1979). Aksi-aksinya pun banyak terjadi off-screen, dengan penerangan yang minim, meskipun tetap ada satu-dua efek gore ringan di dalamnya. Cara ini cukup efektif dalam membangun ketegangan, ketakutan akan ketidaktahuan, dan perasaan mencekam. Toh fokus kisahnya memang menyorot tentang ikatan antara ibu-anak dan penebusan rasa bersalah. Tapi meskipun mungkin hubungan disfungsional Kathy-Lizzy adalah monster yang sesungguhnya, sosok sang monster dalam film ini tetap bukanlah manifestasi ataupun metafora multi-tafsir seperti yang bisa kita temui dalam film seperti misalnya The Babadook (2014). Monster dalam The Monster benar-benar nyata secara fisik, sangat mengancam dan kelaparan.

The Monster bukanlah film beranggaran tinggi. Tetapi saya sangat mengapresiasi keputusan para pembuat film ini yang tidak memilih efek CGI murahan sebagai jalan pintas untuk menghemat bajet. Sebaliknya, sang monster justru dibuat dengan cara tradisional yang mungkin menghabiskan sebagian besar biaya, yaitu lewat practical special effects. Sosok monster ini diperankan oleh aktor berkostum yang didesain secara khusus, dengan kepala full animatronik yang fantastis, dikerjakan oleh studio ADI, sebuah studio special effect horror yang tak perlu diragukan lagi portfolionya. Melihat proses bagaimana sang monster ini dibuat akan membuat siapapun menghargai pekerjaan mereka. Kalian bisa lihat video behind the scene pembuatan monster nya di youtube.

Salah satu hal yang sangat sayangkan dari film ini adalah ending-nya. Setelah melewati babak pertama dan kedua yang emosional dan sangat manusiawi, ditambah dengan misteriusnya sang monster, tiba-tiba semuanya berubah total dalam babak terakhirnya, seakan ini adalah film lain. Saya merasa konfrontasi final pada film The Monster memperlihatkan kalau mungkin saja Bryan Bertino agak kebingungan dengan bagaimana kisah ini harus disudahi. Kathy dan Lizzy yang sebelumnya terasa seperti manusia nyata dengan segala kerapuhan dan kekurangannya, tiba-tiba berubah menjadi karakter stereotip ala film monster generik. Karakteristik sang monster pun ikut berubah. Kalau sebelumnya ia digambarkan sebagai makluk cerdas yang berburu dengan cara mengendap-ngendap dalam kegelapan, tiba-tiba kini ia menjadi mahkluk agresif yang tidak lagi ingin bersembunyi. Cara monster ini dikalahkan pun rasanya terlalu mudah. Semua terasa sangat dipaksakan, hanya demi supaya ada yang selamat dalam kejadian malam naas tersebut dengan nilai pengorbanan. Setidaknya, ending yang lebih tragis adalah ending yang saya rasa cocok dengan nuansa keseluruhan film sejak awal. Tapi yah ending buruk tentu saja bukan hal baru dalam film horor, dan untungnya tidak terlalu merusak keseluruhan film. Bagaimanapun juga, film The Monster tetap menjadi film thriller horror creature alternatif yang lumayan menyegarkan sekaligus melankolis, mengingatkan saya pada film-film monster yang juga dibalut dengan drama keluarga seperti The Host (2006) ataupun A Quiet Place (2018).