THE BLAIR WITCH PROJECT
Sutradara: Daniel Myrick & Eduardo Sánchez
USA (1999)
Review oleh Tremor
Pada tahun 1993, penulis/sutradara Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez mulai mengembangkan ide sederhana untuk debut film horor mereka yang berbajet sangat terbatas. Triknya adalah, kisah ini akan diceritakan sepenuhnya melalui rekaman kamera genggam yang dioperasikan oleh para pemerannya. Dengan cara ini mereka bisa banyak menghemat dalam menciptakan suasana menyeramkan lewat perspektif orang pertama bagi penonton. Myruck dan Sánchez mendapat ide konsep ini ketika keduanya menyadari bahwa film-film dokumenter tentang paranormal biasanya terasa jauh lebih mengerikan dibandingkan film horor biasa. Hasilnya adalah sebuah film indie berbajet rendah yang tanpa diduga berhasil menduduki posisi kedua box office pada minggu ketiga penayangan perdananya di tahun 1999: The Blair Witch Project. Konsep film yang berisikan “kumpulan rekaman yang tak sengaja ditemukan kembali” sendiri memang bukan hal baru. Cannibal Holocaust (1980) mungkin adalah film yang pertama kali menggunakan konsep ini dalam genre horor. Pada tahun-tahun berikutnya, dirilis juga film-film dengan konsep serupa dari mulai Man Bites Dog (1992), Ghostwatch (1992), hingga The Last Broadcast (1998). Namun baru The Blair Witch Project-lah yang berhasil mempopulerkan gaya pembuatan film dengan teknik found-footage hingga menjadi trend besar di sepanjang dekade berikutnya. Film ini kemudian menginspirasi lahirnya banyak sekali film horor dengan teknik serupa dari mulai The Collingswood Story (2002), Noroi (2005), Paranormal Activity (2007), Rec (2007), Cloverfield (2008), hingga film non-horror seperti Chronicle (2012).
Plot The Blair Witch Project sendiri sangat sederhana dan sebenarnya sudah tidak perlu dibahas, jadi saya akan menuliskannya singkat saja. Tiga remaja masuk ke dalam hutan untuk membuat film dokumenter tentang legenda setempat: Blair Witch. Sejak itu ketiganya tidak pernah terlihat lagi. Satu-satunya petunjuk tentang apa yang terjadi pada mereka adalah rekaman-rekaman video yang mereka buat sejak hari pertama. Rekaman-rekaman ini akhirnya berhasil ditemukan satu tahun kemudian. Saya ingat betul apa yang saya rasakan saat pertama kali menonton The Blair Witch Project belasan tahun yang lalu: mengantuk. Seingat saya film ini sangat membosankan, tanpa satupun momen mengerikan di dalamnya, dengan visual yang membingungkan karena gerakan kamera yang penuh guncangan. Saya ingat bagaimana pada saat itu saya tidak paham dengan pemberitaan bahwa The Blair Witch Project dianggap sebagai film yang paling mengerikan. Akhirnya saya memutuskan untuk menonton ulang film ini beberapa minggu lalu, dan saya berharap kalau perasaan saya tentang The Blair Witch Project bisa saja berubah. Tapi rupanya tidak. Saya tetap mengantuk di sepanjang film dan merasa lega saat filmnya selesai. Mungkin karena saya memang found-footage masih bukan genre yang saya gemari. Apalagi seisi film ini banyak berfokus hanya pada tiga remaja annoying yang tersesat di hutan tanpa satupun momen menakutkan di dalamnya selain teriakan-teriakan kepanikan dalam gelap, yang sayangnya tidak menular ke saya sebagai penonton. Saya tidak paham apa yang harus saya takuti, meskipun saya mencoba menontonnya sendirian di ruangan gelap dan sudah menggunakan segenap imajinasi saya. Saya paham, sesuai dengan apa yang pernah H.P. Lovecraft katakan: “jenis rasa takut paling primitif adalah takut akan hal-hal yang tidak diketahui.” Masalahnya, ada terlalu banyak hal yang tidak diketahui dalam plot film ini, membuat semua elemen “menakutkan” yang muncul menjadi tidak terlalu berkonteks. Belum lagi para karakternya yang didesain menjadi annoying, membuat saya kesulitan untuk merasa khawatir atas keselamatan mereka. Karakter Heather yang berperan sebagai leader sekaligus pemegang kamera utama adalah yang paling menjengkelkan sejak film ini dimulai. Momen paling menyebalkan adalah ketika ia mewawancarai beberapa penduduk kota tentang legenda Blair Witch di awal film. Heather jelas adalah pembuat dokumenter terburuk yang pernah saya saksikan karena ia terus menerus menginterupsi para narasumber yang sedang menjawab pertanyaan Heather. Setidaknya biarkan mereka menyelesaikan kalimatnya dulu. Namun saya paham betul kalau karakter Heather memang ditulis untuk menjadi menyebalkan, dan untuk itu saya mengapresiasi keberhasilan aktornya dalam berperan. Tapi mungkin cukup sampai di sini saya menuliskan semua komplain saya tentang The Blair Witch Project, karena sebenarnya saya ingin membahas hal lain yang justru membuat saya jauh lebih menghargai proses produksi film ini.
Meskipun sebagai sebuah film horror The Blair Witch Project bukanlah film yang saya anggap menyeramkan apalagi mencekam, tapi dalam kesempatan menonton ulang kali ini saya menjadi jauh lebih mengapresiasi produksi film ini, terutama passion dari kedua kreatornya, Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez. Baru kali ini saya akhirnya membaca semua hal yang berhubungan dengan proses produksi The Blair Witch Project, dan saya menyadari bahwa ada begitu banyak faktor mengapa The Blair Witch Project bisa sangat berhasil saat pertama kali dirilis di Amerika. Yang utama adalah karena banyak penonton The Blair Witch Project di Amerika tahun 1999 percaya kalau semua footage dalam The Blair Witch Project adalah rekaman asli. Ini adalah faktor penting. Diam-diam Myrick dan Sánchez sudah menyiapkan proyek film ini sejak jauh hari dengan brilian. Pada tahun 1993, enam tahun sebelum film ini dirilis, mereka berdua memulai kampanye pemasaran viral yang sangat cerdas, yaitu menyebarkan secara luas legenda karangan mereka tentang sosok Blair Witch. Berkat viral marketing yang mereka gencarkan ini, pada akhirnya banyak orang percaya kalau legenda Blair Witch adalah legenda yang benar-benar nyata. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana viral marketing dijalankan di era sebelum internet, tapi apapun yang mereka lakukan terbukti berhasil. Mereka berdua juga menyebarkan berita bahwa pada tahun 1994 ada tiga remaja yang hilang di hutan saat sedang mencari jejak kebenaran tentang legenda Blair Witch. Banyak orang akhirnya benar-benar percaya dengan cerita ini karena di masa sebelum internet mudah diakses, tidak banyak cara untuk bisa memastikan kalau ini adalah cerita fiksi. Saat akhirnya internet mulai populer di Amerika satu tahun sebelum perilisan film The Blair Witch Project pada tahun 1998, muncul sebuah website yang merinci tentang penemuan kaset-kaset rekaman dalam sebuah kabin tua di hutan yang ditinggalkan oleh tiga pembuat film dokumenter yang hilang di hutan pada tahun 1994. Website ini juga dilengkapi dengan laporan tentang usaha pencarian ketiga remaja yang hilang, reaksi dari keluarga mereka, hingga pendapat para ahli. Semua terasa begitu nyata. Forum-forum online pun mulai dibanjiri dengan berbagai teori dari para nerd, dari mulai mereka yang tidak percaya dan percaya semua mendiskusikan tentang legenda Blair Witch dan tiga remaja yang hilang. Satu tahun kemudian, pada tahun 1999, kumpulan kaset rekaman tersebut akhirnya di-compile menjadi sebuah film yang akan ditayangkan di bioskop, film The Blair Witch Project yang kita kenal. Kisah seram yang sudah disebarkan dan dianggap “fakta” sejak beberapa tahun sebelumnya kini memiliki “bukti” yang siap dipublikasi. Saya bisa membayangkan bagaimana akhirnya menonton film ini saat pertama kali dirilis bisa terasa sangat menyeramkan bagi para penontonnya, berkat pemasarannya yang cerdas yang sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Myrick dan Sánchez dengan sengaja dan perlahan menanamkan gagasan tentang mengerikannya legenda Blair Witch dalam benak calon penontonnya, dan ini adalah langkah yang sangat brilian. Semua akumulasi intensitas legenda Blair Witch yang disebarkan jauh sebelum filmnya dirilis menjadikan film The Blair Witch Project terasa lebih menakutkan dari seharusnya, karena tidak ada yang lebih menakutkan dibandingkan bukti “asli” sebuah legenda supernatural. Jadi, berbeda dengan kita di Indonesia, mayoritas penonton The Blair Witch Project di Amerika 1999 adalah mereka yang sudah familiar dengan berita tentang insiden hilangnya tiga remaja dan kaitannya dengan legenda Blair Witch, yang tanpa mereka sadari adalah cerita fiktif karangan Myrick dan Sánchez. Wajar saja kalau kemudian bioskop-bioskop Amerika dipenuhi oleh para calon penonton yang penasaran.
The Blair Witch Project adalah salah satu film fitur pertama yang memanfaatkan kampanye pemasaran viral berskala besar seperti ini, dan usaha mereka terbukti sangat berhasil. Meskipun pada akhirnya semua orang menyadari kalau legenda Blair Witch adalah cerita fiksi sebagai bagian dari promosi film dan ketiga remaja yang hilang adalah aktor, tapi mereka tidak merasa ditipu. Setelah semua orang memahami bahwa Blair Witch adalah kisah fiksi, dampak The Blair Witch Project tidak hilang begitu saja. Film ini kemudian menginspirasi lahirnya gelombang film horor DIY dan memotivasi banyak sekali pembuat film amatir tentang besaran bajet bukanlah segalanya untuk membuat film yang berhasil. Siapapun bisa membuat film hanya bermodalkan kamera genggam dan jumlah cast yang minim. Setelah menonton ulang film ini, saya juga mulai menyadari kalau akting ketiga karakter dalam The Blair Witch Project tidak jelek-jelek amat. Itu adalah karena sebagian besar interaksi dan ekspresi mereka ternyata penuh dengan improvisasi spontan. Para aktornya dituntut untuk memainkan peran tanpa naskah, dan setiap reaksi ketakutan mereka adalah nyata karena mereka tidak tahu kapan adegan-adegan terornya akan datang. Apalagi ketiganya benar-benar dibuat putus asa karena harus tinggal di dalam hutan selama delapan hari tanpa berhubungan dengan para crew film, kelaparan dan kelelahan, dengan tanggung jawab besar sebagai aktor yang harus terus menjalankan peran secara konsisten, sekaligus menjadi juru kamera. Meskipun saya bukan penggemar rekaman kamera genggam yang terguncang-guncang di sepanjang film, saya tetap mengapresiasi usaha para aktor dalam film ini. Saya juga paham betul bagaimana guncangan-guncangan tersebut memang diharapkan menambah rasa realisme dalam film ini yang mendukung kampanye viral bertahun-tahun sebelumnya. Ketiga aktor film ini juga bahkan sempat benar-benar tersesat di dalam hutan sebanyak tiga kali. Untungnya mereka dibekali perangkat GPS dan walkie-talkie yang digunakan oleh para crew dan sutradara kalau-kalau para aktornya tersesat.
Suka atau tidak dengan filmnya, semua usaha Daniel Myrick, Eduardo Sánchez serta seluruh cast dan crew produksi The Blair Witch Project sangat layak untuk dihargai. Saya pun ikut senang saat mengetahui kalau kerja keras dan dedikasi mereka sangat terbayar ketika The Blair Witch Project mendapatkan apresiasi dan pengakuan yang begitu besar dari publik. Film ini bahkan mendapat penghargaan Guinness Book of World Records untuk kategori “Top Budget: Box Office Ratio” karena perbandingan angka modal awal dengan angka penghasilannya yang begitu besar. Terlepas dari semua kekurangannya, dan meskipun saya tetap mengantuk selama durasi film ini berjalan, saya akhirnya bisa sedikit menikmati film ini karena mengetahui bagaimana melelahkannya proses pembuatan The Blair Witch Project hingga film ini bisa terasa sangat realistis. Tentu itu bukan pekerjaan yang mudah. Sebagai sebuah produk film, saya pribadi masih tidak bisa mengatakan kalau saya menyukai film ini. Mungkin saya bahkan tidak akan menontonnya lagi untuk waktu yang lama. Tapi seperti apapun hasil akhirnya, The Blair Witch Project tetaplah sebuah film penting yang setidaknya perlu ditonton minimal satu kali dalam hidup siapapun. Saya juga tidak menepis kenyataan bahwa film ini sangat berjasa dalam memulai gelombang trend film horror dengan teknik found-footage yang kini nyaris menjadi subgenre tersendiri. The Blair Witch Project memang bukanlah film found-footage terbaik, namun kemunculannya jelas menyumbangkan perubahan besar dalam industri film horor. Film-film seperti Noroi (2005), REC (2007), hingga antologi V/H/S mungkin tidak akan pernah lahir tanpa adanya The Blair Witch Project, dan itu adalah fakta.