THE AUTOPSY OF JANE DOE
Sutradara: André Øvredal
UK (2016)
Review oleh Tremor
Tahun 2010 adalah pertama kalinya saya mendengar nama sutradara Norwegia André Øvredal lewat sebuah film horror fantasi dengan gaya found-footage yang sangat intens sekaligus fun berjudul Troll Hunter (2010). The Autopsy of Jane Doe adalah film berbahasa Inggris pertama André Øvredal yang dirilis enam tahun kemudian. Setelah mendapat kesuksesan besar lewat The Autopsy of Jane Doe, Øvredal pun diberi kepercayaan untuk menyutradarai film-film horor yang lebih besar lagi seperti Scary Stories to Tell in the Dark (2019) dan The Last Voyage of the Demeter (2023). Entah sudah berapa kali saya menonton The Autopsy of Jane Doe, dan dengan senang hati saya menontonnya lagi untuk kebutuhan menulis review ini. Satu hal yang saya sadari setelah menontonnya ulang adalah betapa efektif dan bagusnya The Autopsy of Jane Doe sebagai sebuah film horor. The Autopsy of Jane Doe pertama kali dirilis pada Desember 2016, jadi besar kemungkinan saya baru menontonnya di tahun 2017. Saya ingat betul apa yang saya rasakan setelah pertama kali menontonnya, dan saya masih merasakan hal yang sama setelah berkali-kali menonton ulang film ini. Pada saat itu The Autopsy of Jane Doe segera menjadi salah satu favorit saya pada saat itu dan saya tempatkan dalam daftar film horor terbaik di tahun 2017 versi saya, bersaing dengan Raw, It dan The Ritual. Pada dasarnya The Autopsy of Jane Doe merupakan film horor / misteri supranatural dengan premis sederhana, cerdas dan original yang dieksekusi dengan sangat baik. Film ini sarat dengan elemen supranatural yang sangat intens dan penuh atmosfer menyeramkan, dengan sebagian besar plotnya hanya terjadi di satu lokasi saja yaitu sebuah rumah mayat (morgue). Saya rasa hampir semua orang pasti pernah menonton The Autopsy of Jane Doe. Tapi bagi mereka yang belum pernah menontonnya, saya bisa bilang ini adalah film yang sebaiknya ditonton secara buta tanpa mengetahui apapun sebelumnya tentang film ini. Jadi saya juga akan menuliskan plotnya sesingkat mungkin dan tetap mencoba menuliskan reviewnya tanpa spoiler.
Suatu hari, kepolisian di kota kecil Virginia dibingungkan dengan kasus pembantaian kejam di sebuah rumah yang pintunya terkunci rapat dari dalam. Di sana mereka menemukan beberapa orang korban yang meninggal secara mengenaskan. Anehnya, para korban ini seakan saling bunuh satu sama lain karena tidak ditemukannya tanda-tanda kerusakan pada semua akses masuk ke dalam rumah. Apa yang lebih membingungkan polisi adalah ditemukannya satu mayat perempuan muda dengan tubuh yang masih terlihat segar tanpa luka sedikitpun, setengah terkubur di ruang bawah tanah. Sesuai prosedur, polisi menamai mayat perempuan yang tidak teridentifikasi ini sebagai “Jane Doe”, sebuah nama yang biasa digunakan untuk merujuk pada seorang perempuan yang identitasnya belum diketahui dalam kasus hukum, atau “John Doe” untuk laki-laki. Mayat Jane Doe pun akhirnya dibawa ke mortuary milik keluarga Tilden untuk segera diotopsi agar bisa diketahui penyebab kematiannya. Mortuary ini dijalankan oleh seorang koroner (petugas yang memeriksa sebab kematian seseorang secara medis lewat proses otopsi) bernama Tommy Tilden bersama dengan anaknya Austin sebagai asistennya. Tommy sedikit bingung melihat kondisi mayat Jane Doe yang tidak menunjukkan tanda-tanda pembekuan darah dan rigor mortis. Namun keanehan tidak berhenti di situ. Sejak mulai menyayat tubuh Jane Doe untuk mencari tahu penyebab kematiannya, Tommy dan Austin menemukan lebih banyak lagi anomali medis serta hal-hal di luar logika pada setiap organ tubuhnya. Tubuh Jane Doe bagaikan sebuah teka-teki besar yang harus mereka pecahkan, dan ketika misteri mulai terungkap sedikit demi sedikit, proses otopsi Jane Doe berubah menjadi mimpi buruk yang sangat mengerikan bagi Tommy, Austin dan juga para penonton.
Ada begitu banyak hal yang saya suka dari film ini, dan saya tidak tahu harus dimulai dari mana untuk menuliskannya. Yang pertama, sinematografinya yang sangat bagus. Dari mulai pencahayaaan di lorong-lorong mortuary, sudut dan jarak bidikan kamera dalam proses otopsi, hingga sorotan pada cermin cembung di ujung lorong yang bisa membuat penontonnya gelisah, semua keputusan visual ini menjadi bahan bakar utama dalam menciptakan atmosfer klaustrofobik menyeramkan di sepanjang film. Sutradara André Øvredal memang sangat mahir dalam membangun atmosfer penuh kengerian dan intensitas yang meningkat secara perlahan hanya bermodalkan lorong gelap, cermin, dan juga sound effect seperti suara laci kamar mayat hingga suara lonceng yang diikatkan pada kaki mayat untuk memastikan mayat tersebut benar-benar sudah mati. Semua teror ini semakin mencekam dan kengeriannya bereskalasi sejak lampu di mortuary mulai padam. Film ini juga memiliki beberapa jump scare yang cukup efektif dan strategis dengan build up yang baik, bukan jenis jump scare yang hanya sekedar ada untuk mengagetkan penonton saja.
Saya juga sangat suka dengan betapa sederhananya plot film ini yang dieksekusi dengan begitu baik dalam durasi yang terasa pas. Ini membuktikan sebuah plot yang bagus tidak selalu membutuhkan kerumitan cerita. Kecepatan alur film ini juga terasa sangat tepat terutama ketika mengungkap setiap lapisan misteri pada tubuh Jane Doe berkat naskahnya yang disusun secara baik, dengan cerita yang mengalir tanpa ada yang terasa dipaksakan, tanpa adegan pengisi kekosongan ataupun plot device yang tidak perlu. Untuk sebuah film yang pada dasarnya hanya memiliki dua karakter dan satu mayat di dalam set lokasi sangat terbatas, The Autopsy of Jane Doe tidak pernah terasa membosankan. Ini tak lepas dari kemampuan akting para aktor yang bekerja dengan sangat baik dalam film ini. Kedua aktor pemeran Tommy dan Austin sanggup memperlihatkan chemistry yang kuat serta kerjasama yang sangat meyakinkan sebagai ayah dan anak yang terjebak di mortuary. Mereka tampak memiliki hubungan yang sehat, membuat kita menjadi sangat peduli dengan keduanya. Namun aktor yang paling layak diapresiasi adalah Olwen Catherine Kelly yang memerankan Jane Doe, karena dari seluruh cast dalam film ini, peran Jane Doe adalah yang paling sulit dan menantang. Bayangkan memainkan peran sebagai mayat, berbaring di atas meja bedah yang dingin selama proses pengambilan gambar berminggu-minggu tanpa sehelaipun kain menutupi tubuhnya, di tengah dinginnya ruangan set dan selalu dikelilingi oleh para crew film. Sutradara André Øvredal bersikeras menggunakan aktor manusia untuk mayat Jane Doe demi mengejar realismenya, apalagi karena Øvredal banyak mengambil gambar close-up dalam film ini yang akan tampak palsu seandainya ia menggunakan properti mayat prostetik. Dipilihnya Olwen Catherine Kelly sebagai Jane Doe sendiri adalah karena profesi asli Olwen merupakan seorang model profesional, dan dia menguasai yoga yang memungkinkannya sanggup mengatur nafas dengan sangat perlahan. Meskipun begitu, Øvredal juga tetap menggunakan prostetik pada tubuh Olwen sejak proses pembedahan otopsi dimulai, dan ini membawa tulisan saya pada elemen lain dari film ini yang juga sangat mendukung keberhasilan The Autopsy of Jane Doe, yaitu special effect prostetik yang digunakan pada semua mayat di mortuary Tilden, semuanya dikerjakan dengan sangat penuh ketelitian.
Salah satu hal terbaik lainnya dari The Autopsy of Jane Doe yang membedakannya dengan film-film supranatural barat lainnya bagi saya mungkin adalah bagaimana film ini tidak terjebak dalam plot stereotipikal horor supranatural pada umumnya, misalnya kemunculan villain supranatural utama yang melakukan aksi teror secara aktif seperti yang biasanya dilakukan oleh karakter-karakter hantu dan iblis Hollywood modern. Stereotip lain film horor supranatural pada umumnya adalah dilibatkannya karakter kalangan profesional atau akademisi, dari mulai karakter pendeta hingga ahli sejarah yang membuka buku tebal berdebu di rak buku mereka hanya untuk menjelaskan kepada para penonton tentang mengapa dan bagaimana hal-hal supranatural bisa terjadi, atau kadang juga tentang bagaimana cara mengalahkan kekuatan jahat yang hadir. The Autopsy of Jane Doe berhasil menghindari “jalan pintas” tersebut untuk memberi penjelasan pada penontonnya, dan memposisikan penontonnya untuk sama-sama merasakan ketidaktahuan, ketidakberdayaan, kepanikan serta ketakutan yang dirasakan oleh Tommy dan Austin, dan saya pikir ini adalah hal yang cerdas dari penulisan film ini. Pada akhirnya film ini tetap meninggalkan misteri yang dibutuhkannya. Kita tetap tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Jane Doe, apa rahasianya, dan bagaimana semua ini bisa terjadi. Dan sangat mungkin kalau sebagian besar yang terjadi di sepanjang film adalah kekuatan Jane Doe yang menyebabkan Tommy dan Austin berhalusinasi. Yang kita tahu hanyalah, kutukan Jane Doe akan terus berlanjut.
Setelah menonton kembali The Autopsy of Jane Doe, saya masih belum juga menemukan hal yang bisa saya keluhkan dari film ini. Saya tahu bahwa tidak mungkin ada film yang sempurna, namun kalaupun ada kekurangan dalam film ini, semua itu tertutup oleh lebih banyak hal bagusnya. Mungkin inilah mengapa saya cenderung menghindari menulis review film horor yang sangat saya suka, karena saya akan menulis terlalu panjang dan mengisinya dengan pujian. The Autopsy of Jane Doe adalah film horor yang sangat solid, sangat atmosferik, penuh dengan teror supranatural mengerikan, ditulis dengan cerdas, membuat film ini tetap menjadi salah satu film horor terbaik yang pernah saya tonton dalam satu dekade terakhir. Sangat direkomendasikan.