fbpx

MOVIE REVIEW: SPEAK NO EVIL (2022)

SPEAK NO EVIL
Sutradara:
Christian Tafdrup
Denmark (2022)

Review oleh Tremor

2022 adalah tahun yang cukup menggairahkan bagi para penggemar horor karena ada banyak film berkualitas dirilis dari mulai X, Pearl, Watcher, Barbarian, Fresh, dan masih banyak lagi. Speak No Evil adalah salah satunya. Film drama horor psikologikal ini disutradarai oleh aktor asal Denmark, Christian Tafdrup, yang naskahnya ia tulis bersama Mafs Tafdrup. Speak No Evil merupakan jenis film yang elemen horornya merayap dengan lambat, namun bisa memberi perasaan tidak nyaman bagi para penontonnya jauh sebelum kengerian yang sebenarnya terjadi dalam pengungkapan serta klimaksnya. Ini adalah contoh bagus sekaligus agak langka dari bagaimana sebuah film horor bisa menjadi mengerikan tanpa perlu sosok-sosok mistis, jump-scare, isi perut dan bergalon-galon darah palsu. Keberhasilan film “foreign” (istilah industri film Amerika untuk film-film non-Amerika) ini tentu menarik perhatian para pembuat film Hollywood. Kabarnya remake versi Amerika dari Speak No Evil sudah memasuki tahap produksi dan rencananya akan dirilis tahun 2024, disutradarai oleh James Watkins yang pernah membuat Eden Lake (2008) dan The Woman in Black (2012). Untuk film “foreign” yang dibuat ulang demi pasar penonton Amerika, saya selalu menyarankan untuk menonton versi aslinya saja.

Speak No Evil menceritakan tentang satu keluarga kecil asal Denmark, Bjørn, Louise, beserta putri tunggal mereka Agnes, yang sedang berlibur di Italia. Di sana mereka berkenalan dengan keluarga lain dari Belanda yang juga sedang berlibur: Patrick, Karin serta putra mereka Abel yang pemalu dan tidak terlalu banyak bicara. Patrick dan Karin bersikap sangat bersahabat dan menyenangkan. Tak heran kalau kemudian kedua keluarga ini cepat akrab. Liburan pun berakhir dan mereka kembali ke negara masing-masing. Beberapa bulan kemudian Bjørn dan Louise menerima undangan dari Patrick dan Karin yang mengajak berlibur akhir pekan di kediaman mereka di sebuah dusun yang asri di Belanda. Karena Denmark dan Belanda hanya berjarak sekitar 7-8 jam perjalanan darat, Bjørn dan Louise memutuskan untuk menerima undangan tersebut dan pergi menggunakan mobil. Kedatangan keluarga Bjørn di rumah mungil keluarga Patrick disambut dengan hangat. Namun tak butuh waktu lama hingga kegembiraan reuni kecil ini mulai dipenuhi dengan perasaan tidak nyaman bagi Bjørn, Louise, dan juga penonton. Semua elemen ini kemudian semakin memuncak, hingga akhirnya menjadi sebuah kejutan bagaikan mimpi buruk.

Speak No Evil adalah contoh langka tentang bagaimana sebuah film horor bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman hanya lewat berbagai situasi-situasi yang tidak mengenakkan, yang pada akhirnya mengarah pada pengungkapan mengerikan. Pada babak pertamanya, film ini terasa seperti film drama bernuansa thriller. Sejak awal kita memang sudah diberi kesan bahwa ada yang salah dengan Patrick, namun penonton hanya bisa menduga-duga. Pengaturan dalam babak pertama jelas terasa mencurigakan berkat hadirnya musik latar yang menakutkan. Kita sadar betul sesuatu yang salah akan terjadi, dan itulah yang berhasil membuat penonton tetap menyimak sambil merasa penasaran. Dalam babak kedua, penonton mulai dibuat tidak nyaman dan berharap agar Bjørn sekeluarga segera pergi meninggalkan kediaman Patrick. Namun kita tahu bahwa ketidaknyamanan ini belum cukup untuk disebut horor. Penonton tetap dibuat penasaran menunggu datangnya babak ketiga, di mana film ini mulai berubah sepenuhnya menjadi horor yang cukup gelap. Sutradara Christian Tafdrup lumayan terampil dalam menangkap atmosfer tidak nyaman yang semakin mendukung mood film ini. Selain karena atmosfer yang dibangun dengan baik, Speak No Evil juga menjadi efektif berkat penampilan dari semua pemerannya yang cukup meyakinkan. Aktor Morten Burian dan Sidsel Siem Koch yang memerankan karakter Bjørn dan Louise sangat berhasil dalam memperlihatkan perasaan tidak nyaman hanya lewat ekspresi wajah serta bahasa tubuh. Demikian juga dengan aktor Fedja van Huêt yang memerankan Patrick, karena di waktu bersamaan ia bisa terasa sangat bersahabat namun tetap beraura mencurigakan.

Meskipun ini adalah film bagus, bukan berarti Speak No Evil bersih dari plot hole. Ada satu-dua kejanggalan minor dan ketidaklogisan keputusan yang diambil oleh beberapa karakternya. Namun semua kekurangan film ini sama sekali tidak merusak keseluruhan film. Mungkin para penonton macho dan memiliki harapan-harapan heroik akan mempertanyakan keberanian Bjørn sebagai laki-laki kepala keluarga dan menganggapnya sebagai kecacatan logika, terutama pada apa yang terjadi dalam ending film ini. Namun menurut saya tidak ada cacat logika pada apapun yang Bjørn lakukan. Mungkin karena mayoritas film menampilkan aksi heroik dan pergulatan, penonton lupa kalau aksi-aksi penuh keberanian belum tentu terjadi dalam kehidupan nyata. Karakter Bjørn memang digambarkan sebagai seorang pria baik hati, ramah, sopan, penurut yang pasrah dan tak berdaya hingga film berakhir. Saya pikir apa yang membuat drama ini terasa sangat realistik adalah justru karena karakter Bjørn yang bisa dibilang tidak terlalu tegas dan tidak bisa melawan. Kita tahu bahwa selalu ada orang-orang seperti Bjørn dalam kehidupan nyata, terutama ketika mengalami kondisi shock, terpukul dan merasa kehilangan seluruh tujuan hidup. Banyak dari kita pernah mendengar tentang respons psikologis umum ketika seseorang dihadapi dengan situasi berbahaya: flight or fight. Lari atau melawan. Tetapi kita juga tidak bisa melupakan kenyataan bahwa ada banyak sekali orang yang memiliki respon membeku ketika dihadapi bahaya, dan tepat seperti itulah yang digambarkan dengan sangat mengganggu dalam klimaks film ini. Mungkin Speak No Evil memang ingin membuat frustrasi penontonnya. Atau bisa juga ingin menyampaikan pesan bahwa kesopansantunan, rasa sungkan dan kepatuhan yang berlebihan dalam interaksi sosial bisa membuka gerbang pada sesuatu yang fatal. Saya tidak ingin mengungkap film ini lebih banyak lagi. Yang perlu saya tulis sekarang untuk menutup review ini hanyalah Speak No Evil cukup brutal dalam tataran ide, dan berpotensi meninggalkan rasa tidak nyaman bahkan setelah filmnya selesai.