MOVIE REVIEW: RABID (2019)

RABID
Sutradara: Jen and Sylvia Soska A.K.A. The Twisted Twins

Kanada (2019)

Review oleh Tremor

Walaupun sutradara horror legendaris asal Kanada, David Cronenberg, sudah lama tidak membuat karya baru, tetapi namanya akan tetap dikenang dan identik dengan genre body-horror dan sci-fi horror. Salah satu karyanya yang paling awal adalah film yang kemudian menyandang status cult dalam dunia horror: Rabid (1977) yang juga pernah saya tulis reviewnya 3 tahun silam (bisa dibaca di sini). Dalam review Rabid 1977, saya pernah menulis: “Kalau saya diharuskan memilih film horor klasik yang produksinya cukup buruk, namun pantas untuk dibuat remake-nya, Rabid akan masuk dalam daftar tersebut.” Rupanya harapan saya terpenuhi. Empat puluh dua tahun kemudian, sutradara kembar kelahiran Kanada Jen dan Sylvia Soska yang pernah membuat film American Mary (2012), atau yang lebih populer dipanggil dengan nama The Twisted Twins, membuat sebuah karya penghormatan kepada Cronenberg, yaitu remake dari film Rabid dimana mereka mencoba untuk memberikan sebuah pendekatan yang baru dan modern terhadap kisah asli buatan Cronenberg tersebut.

Rabid versi Soska bercerita tentang seorang gadis introvert yang agak polos, lemah lembut, serta pemalu yang bernama Rose. Perlu dicatat bahwa Rose adalah seorang vegetarian yang hanya mengkonsumsi makanan organik. Ini merupakan elemen penting dalam perubahan karakternya nanti. Rose bekerja sebagai asisten dari seorang perancang busana bernama Gunter yang bertangan besi dan sangat idealis. Adik tiri Rose sekaligus sahabat karibnya yang bernama Chelsea juga bekerja di sana sebagai model. Chelsea mencoba membantu Rose yang pemalu agar bisa bergaul. Diam-diam Chelsea meminta fotografer fashion bernama Brad untuk mengajak Rose berkencan ke sebuah pesta di klub malam. Tersipu malu, Rose mengiyakan ajakan Brad. Di pesta tersebut, Rose pergi ke kamar kecil untuk menekan kecemasannya setelah berada di keramaian. Sambil duduk di dalam kamar mandi, ia mendengar sepasang model kembar (diperankan oleh Jen dan Sylvia Soska sendiri) membicarakan sambil menertawakan dirinya. Lewat pembicaraan tersebut Rose mengetahui bahwa Brad tidak benar-benar menyukainya, melainkan hanya melakukan apa yang Chelsea minta. Ini cukup untuk membuat Rose merasa dipermalukan. Dengan kesal ia meninggalkan pesta sambil mengendarai motornya, dan sebuah mobil menabrak Rose.

Rose terbangun di sebuah rumah sakit hanya untuk menemukan bahwa bagian bawah wajah dan ususnya rusak parah, sehingga ia tidak akan pernah bisa berbicara dan makan secara normal lagi. Untuk sementara rahang bawah Rose hanya bisa ditopang menggunakan beberapa jahitan kawat pada mulutnya. Dokter Keloid yang merawat Rose mengakui bahwa kerusakan fatal pada wajahnya sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Rose tinggal bersama Chelsea yang sangat menyayanginya sekaligus merasa bersalah. Suatu hari Rose mendapat sebuah kiriman video dalam emailnya yang berisi mengenai proyek medis bernama Transhumanism. Proyek ini diprakarsai oleh ahli bedah Dr. Burroughs yang percaya bahwa manusia bisa melampaui batasan kemampuan fisik dan mentalnya lewat prosedur eksperimen sel induk yang unik, termasuk di dalamnya adalah soal rekonstruksi dan kesembuhan. Fasilitas riset Dr. Burroughs membutuhkan relawan yang mau menjadi kelinci percobaannya, dan seluruh biaya sudah ditanggung oleh para donatur. Prosedur Dr. Burroughs diklaim 100% aman, dan hanya diperlukan lebih banyak percobaan lagi untuk urusan birokrasi agar prosedur ini bisa diakses oleh masyarakat luas kemudian.

Menjadi bahan eksperimen dalam proyek ini adalah satu-satunya harapan bagi Rose agar bisa kembali menjalani hidup dengan normal. Diantar oleh Chelsea, Rose akhirnya mendatangi klinik Dr. Burroughs dan setuju untuk ikut serta dalam prosedur ini. Akhirnya operasi pada Rose pun dimulai. Setelah terbangun dari tidur panjangnya Rose membuka seluruh perban di wajahnya dan melihat wajahnya di cermin. Hasilnya ternyata sangat memuaskan. Wajah dan tubuh rose benar-benar pulih, dan ia tampak lebih cantik dari sebelumnya. Tapi malam itu juga ia mengalami sesuatu yang ia pikir adalah mimpi buruk. Ia mendatangi kolam renang dalam fasilitas mewah itu, mendapati seorang aktor sedang berenang di sana. Mereka berciuman, tetapi Rose menggigitnya hingga berdarah. Mendengar soal mimpi buruknya, Dr. Burroughs memberikan Rose obat yang harus ia minum setiap kali tidurnya terganggu.  Selain itu, ada hal yang perlu Rose lakukan selama masa pemulihannya, yaitu mengkonsumsi minuman bernutrisi khusus yang dibekali Dr. Burroughs setiap kali Rose merasa ada kejanggalan. Rose akhirnya diperbolehkan pulang dan diharuskan kontrol setiap beberapa saat.

Bukan hanya wajahnya yang kembali normal, setelah menjalani prosedur Dr. Burroughs kini tubuh Rose seakan menjadi lebih sempurna karena ia sudah tidak perlu menggunakan kacamatanya lagi. Kepribadiannya juga mulai berubah. Kini ia lebih percaya diri tentang semuanya. Termasuk dalam pekerjaan. Tapi ada sebuah perubahan besar lain yang ia rasakan: kini Rose mudah merasa lapar, dan tidak pernah merasa kenyang. Rose juga semakin sering mengalami mimpi buruk. Hingga suatu hari ia mulai menyadari apa yang bisa memenuhi kebutuhannya dan hawa nafsunya: meminum darah segar. Tanpa ia ketahui, prosedur eksperimen sel yang ia jalani membuat Rose kini adalah seorang carrier virus rabies jenis baru yang telah bermutasi di dalam tubuhnya. Semua mimpi buruk yang Rose alami adalah kejadian dimana ia menyerang orang untuk mendapatkan darah, dan semua itu sama sekali bukan mimpi ataupun halusinasi. Orang-orang yang pernah ia serang otomatis tertular virus yang disebarkan oleh Rose, mengubah mereka menjadi semacam anjing gila yang sangat ganas dan agresif. Dengan mulut penuh busa mereka menggiggit orang lainnya, menularkannya virus tersebut ke lebih banyak orang hingga menjadi pandemi yang meneror seluruh kota. Seluruh kegilaan penyebaran virus ini tidak berhenti hanya pada perubahan perilaku saja, tetapi juga pada perubahan bentuk fisik yang ikut bermutasi dalam beberapa kasus, termasuk pada Rose sendiri. Tanpa sadar Rose adalah carrier, sekaligus sebagai patient zero. Ia tidak menjadi gila seperti korban-korbannya karena tubuh Rose sendirilah yang membantu menciptakan virus tersebut.

Apa yang si kembar Soska lakukan dalam film ini lebih dari sekedar membuat film remake biasa. Soska menulis ulang kisah klasik buatan Cronenberg dengan sudut pandang yang berbeda dan berhasil membuat cerita ini terasa lebih segar sambil menempatkan sentuhan serta ciri khas mereka sendiri di atasnya. Mereka memperkaya para karakternya, memperdalam temanya, hingga tak lupa menyelipkan sedikit komentar sosial mengenai standar dan obsesi atas kecantikan seperti yang mereka lakukan dalam American Mary. Rabid versi 2019 tidak berfokus pada respon lembaga pemerintah dan masyarakat umum terhadap wabah (seperti dalam film aslinya), tetapi lebih berfokus pada pada transformasi Rose baik secara fisik maupun mental, dan mencoba menjelaskan transformasi ini dengan bumbu ilmiah. Efek massal dari penyakit yang disebarkan Rose pada populasi manusia hanya diperlihatkan secara sepintas saja sebagai latar cerita. Perbedaan paling mencolok dari Rabid 2019 dibandingkan dengan film aslinya juga ada pada ending-nya yang cukup menegangkan.

Berbeda dengan Rabid 1977, kini karakter Rose juga memiliki kisahnya sendiri. Ia memiliki latar belakang, ambisi, mimpi, pergulatan, hingga kompas moral tertentu. Dalam versi Soska, Rose lah yang dengan sukarela menyetujui prosedur percobaan pada dirinya, dan ini tentu saja merubah banyak sudut pandang dalam keseluruhan cerita. Rose kini punya suara dan kehendak untuk mengambil keputusannya sendiri. Rose juga memiliki cerita latar (sejak awal film, wajah Rose sudah penuh dengan bekas luka karena sebuah kecelakaan traumatis yang juga pernah merenggut nyawa kedua orang tuanya). Selain itu, Rose memiliki karir yang ingin ia bangun dalam industri fashion. Dalam adegan-adegan awal, ketika Rose ditanya mengapa ia bekerja dalam industri tersebut, ia menjawab bahwa pakaian membuatnya merasa bisa menjadi siapa saja atau apa saja. Pakaian adalah pelindungnya di dunia yang tidak aman ini. Rose memiliki pendapat dan sesuatu yang ia percaya. Soska menghembuskan nafas kehidupan pada karakter ini. Pemeran Rose, Laura Vandervoort, memberikan kinerja hebat dalam perannya yang menantang ini. Ada beberapa bagian dalam film ini dimana ia tidak bisa berbicara karena mulutnya dipenuhi jahitan kawat, dan wajahnya hampir sepenuhnya tertutup perban. Di sini Vandervoort mampu membuat Rose bisa terus berekspresi walaupun hanya menggunakan mata dan bahasa tubuhnya saja. Satu momen yang saya ingat adalah ketika Rose sedang diperiksa oleh Dr. Burroughs untuk melihat apakah ia memenuhi syarat untuk diikutsertakan dalam prosedur eksperimental ini atau tidak, mata Vandervoort menyampaikan banyak sekali ekspresi dan emosi: dari mulai kebingungan, rasa tak nyaman, putus asa hingga insecure.

Kembali pada tulisan saya terdahulu soal Rabid 1977, saya menulis: “film ini pantas mendapatkan penulisan yang lebih baik, pengaturan plot yang lebih rapih, dan tentu saja special effect / makeup yang lebih mantap, yang saya rasa tidak memerlukan bantuan CGI / animasi komputer sama sekali.” Dan semua itu pun ikut terpenuhi dalam Rabid versi 2019. Soska menggunakan sedikit sekali efek komputer dan mengedepankan special effect tradisional: makeup prostetik. Jelas ini adalah sebuah bonus kenikmatan bagi para penggemar body horror seperti saya. Special effect dan makeup dalam Rabid 2019 tampak sangat realistis dan cukup mengagumkan.

Lewat film Rabid, Soska seakan-akan ingin memperlihatkan dengan jelas betapa mereka menghormati dan mencintai David Cronenberg, dan tentu saja ini akan membuat para penggemar Cronenberg dimanapun ikut senang. Mereka bukan hanya memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada film Rabid 1977 saja, tetapi juga pada beberapa karya Cronenberg lainnya. Rabid 2019 dipenuhi dengan banyak easter eggs yang berhubungan dengan David Cronenberg melalui referensi visual yang terang-terangan ataupun referensi halus dalam dialog. Sejak film ini dimulai, kita sudah disuguhi oleh easter egg pertama. Saat Rose sedang mengendarai motor menuju tempat kerjanya, ia sempat berhenti di depan sebuah billboard dimana terpampang foto seorang perempuan sedang duduk di atas motor klasik. Semua yang ada di dalam foto ini adalah reka ulang dari karakter Rose versi Cronenberg tahun 1977, lengkap dengan motor tua dan sepasang helm putihnya. Dalam film aslinya, dokter bedah plastik yang menangani Rose bernama Dr. Keloid (nama ini tentu saja adalah semacam permainan kata-kata). Dalam Rabid versi Soska, Dr. Keloid adalah dokter bedah pertama Rose. Ia hanya muncul sebentar saja, karena kemudian Dr. Keloid merujuk Rose pada ahli bedah plastik lainnya: Dr. William Burroughs. Nama ini tentu tidak asing bagi para penggemar Cronenberg. William S. Burroughs adalah nama seorang penulis Amerika yang buku serta proses penulisannya pernah diadaptasi dengan liar oleh David Cronenberg dalam filmnya yang berjudul Naked Lunch (1991) dengan William Burroughs sebagai nama karakter utamanya. Referensi Cronenberg tidak berhenti disitu saja. Dalam adegan operasi Rose, Dr. Burroughs dan seluruh staf bedahnya mengenakan jubah bedah berwarna merah. Adegan operasi serta pakaiannya ini adalah referensi yang diambil langsung dari film Cronenberg lainnya yang berjudul Dead Ringers (1988). Dan masih dari Dead Ringers, aktris bernama Heidi von Palleske yang memerankan karakter Cary dalam film itu juga ikut bermain dalam Rabid 2019 sebagai cameo.

Rabid 2019 disambut hangat oleh banyak penggemar horror karena ini adalah sebuah karya tribute yang luar biasa dan bukan hanya proyek remake pencari profit belaka. Apalagi film Rabid 1977 adalah film yang memiliki ide sangat menarik, walaupun dieksekusi dengan tidak maksimal karena keterbatasan dana yang dihadapi Cronenberg pada masanya. Jadi, membuat remake Rabid adalah pilihan tepat, sekaligus memusingkan karena film Rabid 1977 sudah begitu terkenalnya dalam scene horror. Si kembar Soska  memanggul beban dan tanggung jawab yang cukup berat atas judul pilihannya ini, dan saya rasa mereka cukup berhasil. Saya pribadi cukup menikmati film ini. Soska sama sekali tidak berusaha meng-copy gaya Cronenberg. Sambil menyelipkan banyak pengingat terhadap karya-karya ikonik Cronenberg, mereka tetap berhasil menonjolkan ciri khas mereka sendiri dalam Rabid.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com