fbpx

MOVIE REVIEW: OPEN 24 HOURS (2018)

OPEN 24 HOURS
Sutradara:
Padraig Reynolds
Kanada (2018)

Review oleh Tremor

Open 24 Hours adalah sebuah film horor independen yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Padraig Reynolds. Saya pribadi sama sekali tidak familiar dengan karya-karya horor Reynolds sebelumnya seperti Rites of Spring (2011) dan The Devil’s Dolls (2016), jadi saya memang memilih Open 24 Hours secara random dan menontonnya tanpa ekspektasi apapun. Lewat Open 24 Hours, percobaan Reynolds lumayan berhasil dalam membungkus ketegangan thriller psikologikal soal paranoia yang digabungkan dengan unsur slasher lewat transisi yang cukup mulus. Film ini tidak menawarkan sesuatu yang baru, tapi setidaknya ada beberapa momen yang cukup efektif dalam Open 24 Hours. Meskipun Open 24 Hours mengandung beberapa adegan kekerasan, tetapi sepertinya Reynolds justru ingin sedikit menyisipkan komentar sosial seputar dampak emosional dari kekerasan, tentang bagaimana perilaku abusif meninggalkan luka pada korbannya bukan hanya secara fisik tetapi juga mental.

Film ini berfokus pada Mary, seorang perempuan muda yang baru saja bebas bersyarat dari penjara. Sebelum ditangkap, Mary pernah mencoba membakar mantan kekasihnya, James Lincoln Fields, hidup-hidup. Bukan tanpa alasan mengapa Mary mencoba membakar mantan kekasihnya. James adalah seorang pembunuh berantai dengan alias “The Rain Ripper” yang kerap beraksi ketika hujan turun. Sejak Mary mengetahui identitas asli kekasihnya, ia dipaksa untuk menyaksikan hampir setiap pembunuhan tersebut. Mary memang tidak berpartisipasi, tetapi ia juga tidak berdaya untuk menghentikan aksi kekasihnya karena ia ketakutan. Setelah muak hidup di bawah ancaman James, akhirnya Mary mencoba membakar kekasihnya yang sedang tidur. Dengan tubuh penuh luka bakar James pun ditangkap dan identitasnya sebagai pembunuh berantai terungkap. Jadi alasan sebenarnya mengapa Mary ikut dipenjara adalah karena ia dianggap melakukan pembiaran dalam setiap pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Media massa bahkan ikut menyalahkan Mary dan menyebutnya sebagai “The Watcher”. Pengalaman terperangkap dalam hubungan yang sangat tidak sehat dengan James, ditambah harus menyaksikan banyak pembunuhan sadis meninggalkan trauma mendalam pada Mary. Kesehatan mental-nya terganggu. Kini Mary yang menderita paranoid dan delusional harus melanjutkan hidup sambil menjalani pengobatan. Setelah dibebaskan secara bersyarat, Mary mendapat pekerjaan sebagai penjaga shift tengah malam pada sebuah mini market sekaligus pom bensin yang berada di jalanan terpencil. Tentu saja ini bukan pekerjaan yang tepat untuk seseorang dengan gangguan paranoid dan delusional, tetapi ini adalah pengaturan yang cocok untuk film horor. Lagi pula ini satu-satunya tempat yang mau menerimanya bekerja. Sejak film Open 24 Hours dimulai, kita bisa melihat bagaimana Mary yang delusional seringkali diteror oleh bayang-bayang masa lalunya. Seperti pada umumnya film horor psikologikal soal paranoia, apakah yang Mary alami berikutnya di sepanjang film ini merupakan bagian dari delusinya atau memang benar-benar terjadi?

Meskipun bukan konsep yang baru untuk film horor, namun penggunaan PTSD yang Mary derita membuat narasi film ini tetap saja terasa efektif dalam membuat menjaga kewaspadaan penonton yang terus berusaha menebak antara mana yang nyata dan mana yang tidak. Dengan bajet terbatas, Padraig Reynolds memanfaatkan satu lokasi saja dalam sebagian besar durasi film ini dengan maksimal, yaitu bangunan mini market dan pom bensin yang dipenuhi sudut-sudut serta ruangan suram yang tampak kumuh dan kotor, terutama kamar mandinya yang tampak sangat kotor. Pengaturan lokasi seperti ini menjadi efektif karena Mary yang paranoid ditempatkan di dalamnya, seorang diri. Penggunaan lokasi tunggal bukanlah hal baru dalam film horor, namun selalu ada banyak kemungkinan kreatif yang bisa terjadi dalam satu lokasi tunggal, dan Reynolds melakukan pekerjaannya dengan cukup baik. Menunggu-nunggu apa yang akan terjadi dari lokasi yang terbatas merupakan hal yang cukup menyenangkan sebagai pengalaman menonton film semacam ini. Lalu ketika pembunuhan brutal dan adegan gore-nya mulai muncul, kita bisa melihat bagaimana penggunaan special effect-nya cukup berkualitas.

Open 24 Hours memang diarahkan dengan cukup baik, dengan visual dan estetika yang mencolok sekaligus meresahkan. Namun bukan berarti film ini tidak memiliki kekurangan. Beberapa kekurangan film ini di antaranya adalah, konsepnya yang tidak terlalu original, memiliki banyak sekali plot hole, agak bergantung pada kejadian kebetulan, penuh dengan keputusan tidak logis yang diambil oleh beberapa karakternya, terlalu sering menggunakan jump scare, serta ending yang menurut saya terlalu dipaksakan demi menjadi ending yang ambigu. Jadi, Open 24 Hours memang bukan jenis film yang membuat inovasi baru dalam genre horor. Tetapi sebagai sebuah film horor yang dirilis langsung ke dalam bentuk home-video (direct to video) dan bukan bioskop, Open 24 Hours cukup memuaskan, menegangkan, menghibur, dan saya tidak terlalu menyesal setelah menontonnya.