MOVIE REVIEW: THE NIGHTSHIFTER / MORTO NÃO FALA (2018)

THE NIGHTSHIFTER / MORTO NÃO FALA
Sutradara: Dennison Ramalho

Brazil (2018)

Review oleh Tremor

The NightShifter yang berjudul asli Morto Não Fala (Orang Mati Tidak Bicara) adalah sebuah film drama horor supranatural asal Brazil yang disutradarai oleh Dennison Ramalho. Ini adalah film fitur perdana Ramalho yang sebelumnya hanya membuat film-film pendek, salah satunya adalah segmen ‘J is for Jesus’ dalam antologi horror komedi berjudul The ABCs of Death 2 (2014). The NightShifter merupakan adaptasi dari cerpen karya seorang penulis bernama Marco de Castro.

Film ini mengkisahkan tentang seorang asisten forensik bernama Stênio. Ia selalu bekerja pada shift malam di sebuah kamar mayat di Sao Paulo, Brazil. Di sana ia membantu proses otopsi dan menyiapkan mayat-mayat yang diantar oleh ambulans. Karena Sao Paulo adalah kota yang penuh dengan kekerasan, maka kebanyakan mayat yang diantar ambulans pada tengah malam biasanya adalah korban kekerasan, dari mulai korban perkelahian antar suporter bola hingga korban perang geng jalanan yang mengerikan. Setelah otopsi dilakukan oleh dokter forensik, tugas Stênio adalah menjahit tubuh mayat yang baru diotopsi, membersihkan semua darah yang berceceran, lalu memasukan mayat-mayat tersebut ke ruang pendingin. Mungkin sebagian orang akan merasa resah dan kesepian dengan pekerjaan shift malam di kamar mayat, tetapi tidak bagi Stênio karena ia selalu memiliki teman untuk mengobrol. Sejak film ini dimulai, Stênio memang diperkenalkan sebagai seseorang penyendiri yang memiliki bakat gaib yang ia rahasiakan dari siapapun: Stênio bisa berkomunikasi dengan mereka yang sudah meninggal. Bukan dengan arwah atau hantu, tetapi dengan mayat. Dalam setiap perbincangannya dengan dengan orang mati (yang kadang ia lakukan sambil menjahit dada mereka), Stênio menanyakan apa yang terjadi pada mereka. Stênio adalah orang yang baik. Lewat kemampuannya berkomunikasi dengan orang mati, ia mencoba untuk menenangkan mayat-mayat agar bisa menerima kematian mereka, dan tak jarang para mayat ini kemudian berbagi rahasia terdalam mereka pada Stênio. Kemampuan Stênio berbicara dengan orang mati ini tidak pernah dijelaskan dan mungkin memang tidak membutuhkan penjelasan, karena toh bukan itu intinya.

Di luar tempat kerjanya, Stênio adalah seorang kepala keluarga. Tetapi rumah tangganya bisa dibilang agak berantakan. Di awal-awal film, kita juga diperkenalkan pada rutinitas harian Stênio: pergi ke kamar mayat, ke toko roti di mana ia berhutang dan minum sendirian, lalu pulang ke rumahnya di mana istrinya yang bernama Odete hampir tidak tahan berada di sekitarnya. Odete selalu marah-marah tentang segala hal. Stênio memiliki alasan lain untuk pulang ke rumah: anak laki-lakinya yang bandel, dan anak perempuan nya yang kelihatannya penurut. Dalam film ini, karakter Stênio menjalankan peran protagonis sekaligus antagonis. Kita mengikuti perspektif Stênio hingga film ini berakhir, dan ia jugalah penyebab utama dari semua hal buruk dan kekerasan yang kemudian terjadi.

Suatu malam di tempat kerjanya, mayat yang baru diantar oleh ambulans rupanya adalah seseorang yang ia kenal secara selewat dari lingkungan toko roti langganannya. Seperti biasa, mayat-mayat akan membeberkan rahasia mereka pada Stênio. Sialnya, kali ini rahasia yang diceritakan berhubungan langsung dengan rumah tangga Stênio sendiri. Akhirnya Stênio melakukan sebuah kesalahan fatal yang tak pernah ia duga akan memiliki konsekuensi gelap. Dengan nekat ia menggunakan beberapa informasi rahasia yang pernah didengarnya dari mayat seorang petinggi gangster bernama Sujo untuk menyelesaikan masalah pribadinya sendiri, dan keputusannya tersebut berakibat sangat fatal. Pada hari-hari berikutnya, beberapa mayat baru yang dikirim ke kamar mayat menuduh Stênio sebagai pengkhianatan. Rupanya berita cepat tersiar di dunia orang mati. Semuanya sudah terlambat bagi Stênio saat ia mengetahui bahwa dengan tidak menjaga rahasia orang-orang mati yang dipercayakan padanya, ternyata itu mendatangkan kutukan pada hidup Stênio, dan kutukan itu akan menyebar ke anak-anaknya juga. Ketika Stênio mengacaukan kekuatan gaib yang tak ia pahami, tanpa disadari ia mendatangkan nerakanya sendiri yang akan menghancurkan hidup beserta keluarganya.

Sebagai film perdana sang sutradara, The NightShifter sangat impresif dengan cerita yang menarik dan visual menyeramkan. Kisah yang dimulai dengan seseorang pria yang bisa berkomunikasi dengan mereka yang sudah mati kemudian berkembang cukup liar dan menyentuh banyak tema, dari mulai kematian, kesendirian, keputusasaan, balas dendam, hingga rumah tangga yang tidak sehat. The Nightshifter juga adalah sebuah film lintas genre yang sangat menarik dengan transisinya yang cukup halus. Film ini dimulai seperti sebuah film black comedy, kemudian beralih menjadi kisah misteri kriminal, hingga akhirnya menjadi supranatural horror penuh. Setelah film ini berakhir, saya baru menyadari bahwa The Nightshifter pada dasarnya adalah film revenge dengan banyak potongan tubuh dan entitas supranatural. Bicara soal potongan tubuh, walaupun The Nightshifter bukan film eksploitasi, film ini tetap memiliki kadar gore yang lumayan untuk ukuran film supranatural, terutama ketika Stênio melakukan pekerjaannya di kamar mayat dimana adegannya bisa menjadi cukup gruesome dan eksplisit. Misalnya saat Stênio sedang berbincang dengan mayat gangster bernama Sujo, kita bisa melihat otak Sujo yang baru diperiksa dimasukkan kembali ke dalam tempurung kepalanya, dan kemudian kulit kepalanya ditarik kembali layaknya kaus kaki. Semua dilakukan oleh Stênio dengan kasual, layaknya mereka sedang berbincang sambil minum teh.

Sutradara Ramalho juga cukup pintar membangun ketegangan. Bahkan ketika mayat-mayat dalam film ini tidak pernah digambarkan sebagai ancaman, ada sesuatu yang benar-benar disturbing dari mereka. The Nightshifter menggunakan kombinasi CGI dan special effect praktis/tradisional untuk membangun imaji menakutkan tersebut. Mayat-mayat dan potongan-potongan tubuh manusia di kamar mayat yang banyak kita lihat di sepanjang film ini, dibuat menggunakan special effect praktis: boneka yang tampak seperti tubuh manusia betulan. Mungkin beberapa penonton yang tidak kuat melihat darah akan memalingkan wajah mereka dari layar di setiap adegan-adegan otopsi. Special effect CGI kemudian dipergunakan ketika mayat-mayat tersebut berbicara dengan Stênio. Tampaknya ada CGI berlapis-lapis pada wajah mayat, dan itu menciptakan imaji yang benar-benar disturbing, aneh, dan kadang juga sedikit lucu. Awalnya saya heran, mengapa mereka tidak menggunakan aktor asli saja daripada menambal wajah mayat dengan CGI. Tetapi kemudian saya menyadari apa yang membuat setiap mayat yang berbicara ini tampak janggal sekaligus disturbing secara visual, karena rahang mereka tetap diam saat mereka berbicara. Tenggorokan dan otot-otot pada leher mereka juga bisa tetap diam walaupun mulutnya berbicara. Mungkin feel “tidak alami” seperti itu yang membuatnya tampak janggal, dan hanya bisa didapatkan lewat jalan pintas CGI.

Saya pribadi cukup menikmati film ini, dari mulai eksibisi darah dan organ tubuh serta mayat yang tidak terlalu berlebihan, plot dan ide yang menarik, hingga semua ketegangan yang dikemas dalam The Nightshifter. Saya juga menikmati perkawinan banyak genre dalam satu film seperti yang dilakukan dalam The Nightshifter, dan tentu saja saya akan merekomendasikannya kepada kalian yang mencari horror hantu yang menyegarkan. Memang pada babak terakhirnya, The Nightshifter memiliki banyak elemen klise supranatural dimana keluarga Stênio diteror oleh entitas supranatural yang ingin membalas dendam, tapi setidaknya tidak seklise film-film James Wan yang membosankan.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com