HOST
Sutradara: Rob Savage
UK (2020)
Review oleh Tremor
Kita ingat pada tahun 2020 hampir semua negara di seluruh dunia menerapkan lockdown untuk menahan penyebaran virus SARS-CoV2. Kondisi tersebut mendorong kebiasaan baru dalam berkomunikasi. Banyak orang saling berinteraksi lewat teknologi video-call dari rumah masing-masing, dan sebuah platform video-call bernama Zoom pun mulai populer. Di tengah situasi seperti itu, muncul sebuah film horror berbasis aplikasi Zoom yang berjudul Host. Meskipun Host segera mendapat banyak pujian setelah dirilis, jujur pada saat itu saya mencurigai kalau Host hanyalah sebuah film “aji mumpung” yang memanfaatkan lockdown pandemi dan trend video-call via Zoom sebagai gimmick belaka. Dua tahun berlalu. Saya tidak ingat persis apa yang kemudian mendorong saya untuk akhirnya menonton Host. Mungkin karena durasinya yang pendek, jadi saya pikir tidak ada salahnya menghabiskan satu jam dalam hidup saya untuk mengejar ketertinggalan pada film yang mendapat score 100% di Rotten Tomatoes dan sempat menghebohkan komunitas horror dua tahun lalu ini. Setelah selesai menontonnya, saya menyadari bahwa prasangka pesimistik saya dua tahun lalu adalah sebuah kesalahan. Rupanya film ini jauh lebih baik dari yang saya duga sebelumnya. Meskipun konsep film ini memang agak-agak “aji mumpung”, tapi saya seharusnya percaya pada hype saat itu. Kini saya paham mengapa Host mendapat banyak sekali pujian, karena terlepas dari semua kekliseannya, film ini memang pantas diapresiasi. Host adalah film berbajet rendah dengan premis sederhana yang dieksekusi dengan sangat baik, dan yang terpenting adalah sangat efektif sebagai film horror. Dari apa yang saya baca kemudian, Host yang ditulis dan disturadarai oleh Rob Savage ini merupakan pengembangan dari video pendek buatan Savage sendiri yang sempat viral di twitter, yang bisa kalian lihat di sini.
Dalam situasi lockdown pandemi dan terjebak di dalam rumah masing-masing, Haley bersama teman-temannya membuat rencana yang tak biasa untuk menghabiskan waktu lewat pertemuan dalam aplikasi Zoom, yaitu ritual pemanggilan arwah. Perlu dipahami bahwa di negara-negara yang jauh lebih maju dari Indonesia, hal-hal mistis dan supranatural bukanlah hal yang dipercaya begitu saja oleh kebanyakan orang, meskipun mereka tetap bisa merasa takut. Itulah mengapa ide tentang ritual “pemanggilan arwah” bagi orang dewasa seperti teman-teman Haley bisa terasa sama menegangkan sekaligus exciting-nya seperti saat kita bermain jalangkung ketika masih kecil. Untuk melakukan ritual ini dengan proper, Haley dan teman-temannya membayar seorang paranormal bernama Seylan untuk memandu mereka lewat video-call. Sepertinya hanya Haley yang menganggap rencana ini dengan serius, sementara teman-teman Haley meskipun tertarik dengan ide ini, kelihatannya tidak terlalu percaya pada hal mistis. Haley cukup khawatir dengan tingkah laku teman-temannya. Sebelum mengundang sang paranormal masuk ke dalam room, Haley berulang kali mengingatkan teman-temannya untuk bersikap hormat dan mengikuti semua arahan Seylan. Mengikuti tradisi film horror supranatural, pada akhirnya mereka benar-benar berhasil mengundang sesuatu dari alam lain untuk hadir di tengah-tengah mereka meskipun sebagian besar karakter dalam film ini tidak percaya pada hal-hal mistis. Sayangnya bukan arwah orang mati yang berhasil mereka undang, melainkan entitas yang jauh lebih jahat.
Tentu saja tidak ada hal yang baru dalam film ini. Gagasan tentang gangguan supranatural lewat teknologi elektronik modern sudah digunakan mungkin sejak BBC membuat mockumentary horror berjudul Ghostwatch (1992). Selain itu, penggunaan format platform video-call sebagai gaya film horror juga sudah pernah dilakukan dalam film-film seperti The Collingswood Story (2002), The Den (2013), Unfriended (2014) hingga Ratter (2015). Namun apa yang membedakan Host dengan film-film horror “cyber” lainnya adalah, film ini tidak membuang-buang durasinya untuk diisi dengan dialog-dialog tidak penting yang membosankan seperti yang sering kita temui di banyak sekali film sejenis. Saya pikir durasi Host yang tidak sampai satu jam ini adalah keputusan paling cemerlang, karena dengan itu seluruh runtime-nya terasa benar-benar efektif dan padat tanpa rasa bosan. Saat film-film cyber foundfootage lain hanya memiliki persentase ketegangan yang terlalu sedikit dibanding total durasinya, Host menawarkan hal yang diinginkan oleh semua penggemar film horror: lebih banyak durasi untuk kengerian intens tanpa henti. Saya menghargai bagaimana sutradara Rob Savage hanya menggunakan sekitar sepuluh menit pertama saja untuk memperkenalkan karakter-karakternya sambil memberi kesempatan bagi para penonton untuk terbiasa dengan dinamika persahabatan mereka, serta melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan satu sama lain. Bicara soal karakter, saya juga memuji kemampuan akting para aktor dalam film ini. Sebagai film yang keseluruhan adegannya terjadi hanya dalam layar aplikasi Zoom, Host mengharuskan para aktornya hanya mengandalkan akting ekspresi wajah saja. Saya yakin itu adalah hal yang tidak mudah, dan para aktor yang terlibat bekerja dengan fantastis. Mereka berhasil menyampaikan ekspresi ketakutan masing-masing dengan meyakinkan dan terasa sangat otentik.
Jenis kengerian dalam film ini memang sangat tipikal. POV orang pertama di ruangan gelap, jumpscare, hingga pojok-pojok ruangan di belakang tiap karakter yang membuat penonton mencurigai sesuatu akan muncul. Namun penggunaan platform Zoom memberi keuntungan tersendiri bagi film ini. Dengan adanya layar yang terbagi-bagi di sepanjang film, membuat penonton terus menerus merasa cemas atas kejutan yang jelas-jelas sudah bisa kita diprediksi. Ini adalah sensasi ngeri yang dicari oleh siapapun saat memutuskan menonton film horror. Kita tidak pernah tahu dari layar mana kejutan menyeramkan berikutnya akan terjadi. Mata penonton akan terus memantau setiap layar para karakter dengan penuh kewaspadaan dan kecemasan, dan itulah yang membuat ketegangan semakin meningkat. Jadi menurut saya digunakannya platform Zoom dalam film ini adalah lebih dari sekedar gimmick belaka. Kengerian dalam film ini juga terasa realistik, mungkin karena saya menonton Host pada layar komputer dalam ruangan yang lampunya sengaja saya matikan. Setup ini membuat tampilan Zoom dalam film Host menjadi terasa nyata, seakan-akan saya adalah bagian dari zoom meeting mereka. Sama seperti yang para karakter film ini hadapi, sayapun sama tidak berdayanya dengan mereka saat gangguan-gangguan supranatural mulai terjadi.
Mengetahui fakta bahwa Host dibuat dalam periode awal pandemi lewat aplikasi Zoom, menjadikan film ini otomatis jauh lebih superior dibandingkan film Unfriended misalnya. Para crew dan aktor dalam proyek ini mampu menghasilkan film horror yang efektif meskipun dalam masa yang penuh keterbatasan dan kendala teknis karena pandemi baru saja dimulai. Ini adalah salah satu contoh bagaimana film minimalis dibuat dengan impresif. Pengaturan, framing dan special effect film ini memang layak mendapat pujian. Meskipun jenis kengeriannya tipikal, tapi film Host mampu membangun ketegangan dengan sangat baik. Sebagai film horror, Host benar-benar efektif. Saya pribadi cukup menikmati film ini, mungkin karena saya sudah menghilangkan ekspektasi apapun sebelum saya menontonnya. Terima kasih juga pada durasinya yang pendek, maka waktu saya tidak terbuang percuma. Jadi meskipun tidak menawarkan hal baru, tetapi saya bisa sepakat kalau Host merupakan salah satu film horror bagus yang dirilis di masa berat awal pandemi. Saya pribadi menyarankan siapapun yang belum menonton Host untuk menontonnya di layar laptop dalam ruangan yang gelap, demi mendapatkan pengalaman menonton yang terasa realistik.