fbpx

MOVIE REVIEW: HOLIDAYS (2016)

HOLIDAYS
Sutradara: Kevin Kölsch, Dennis Widmyer, Gary Shore, Nicholas McCarthy, Sarah Adina Smith, Anthony Scott Burns, Kevin Smith, Scott Stewart, Adam Egypt Mortimer
USA / Irlandia (2016)

Review oleh Tremor

Bulan Desember adalah bulan yang secara global identik dengan musim liburan panjang. Jadi, ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk me-review salah satu film antologi horror berjudul Holidays yang memiliki tema hari-hari libur ikonik Amerika dan Irlandia. Terdapat delapan film pendek dalam antologi ini, masing-masing mewakili hari perayaan yang berbeda dan disutradarai/ditulis oleh sineas yang berbeda pula. Film antologi sendiri adalah bagian penting dalam genre horor (sinema maupun literasi), karena dalam antologi, para sineas dan penulis horror bisa lebih mengeksplorasi ide-ide ekstrim, tabu, dan kadang juga absurd. Jadi, sudah tidak aneh kalau film-film dalam antologi horor bisa menjadi sangat ganjil dan penuh rasa eksperimental. Siapapun yang pernah menonton antologi seperti The ABCs of Death (2012) tentu akan mengerti maksud saya. Mereka yang terlibat dalam proyek Holidays tentu saja melihat ini sebagai sebuah sarana sempurna bagi mereka yang ingin bereksperimen dan bersenang-senang tanpa beban. Untuk keperluan review ini, saya akan membahas setiap segmen yang merangkai antologi Holidays secara singkat, dan tentu saja tanpa spoiler.

Segmen pertama adalah hari Valentine, bercerita tentang Maxine, seorang gadis yang masih duduk di bangku sekolah. Sebagai remaja, ia jatuh cinta pada pelatih renangnya, dan dengan terang-terangan Maxine memperlihatkan perasaannya walaupun di depan teman-temannya. Maxine bukanlah seorang gadis populer. Selain menjadi korban bully dari teman-temannya yang lebih populer, latar belakang keluarganya pun cukup gelap. Menjelang hari Valentine akhirnya Maxine memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada sang pelatih dengan cara yang tidak biasa. Sebagai sebuah pembuka, segmen ini kurang membuat penasaran, sangat lemah dan ceritanyapun terlalu klise. Segmen ini ditulis dan disutradarai oleh duo Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer. Ini bukan pertama kali mereka bekerja sama. Dua tahun sebelum Holidays, duet Kölsch-Widmyer pernah membuat film Starry Eyes (2014) yang pernah saya tulis juga reviewnya dulu, dan mereka kembali berkolaborasi pada tahun 2019 membuat versi terbaru dari film Pet Sematary.

Segmen ke-dua: St. Patrick’s Day, yang merupakan sebuah hari raya keagamaan di Irlandia adalah satu-satunya segmen non-Amerika dalam antologi Holidays. Film ini menceritakan tentang Elizabeth, seorang guru sekolah yang ingin sekali memiliki anak. Suatu hari ia kedatangan murid baru, seorang gadis kecil misterius bernama Grainne. Apa yang tidak ketahui Elizabeth adalah, mungkin tujuan Grainne pergi ke sekolah bukanlah untuk belajar, melainkan membantu mewujudkan mimpi Elizabeth tanpa persetujuannya dengan cara dan hasil akhir yang unik. Menurut saya ini adalah segmen paling ganjil dari seluruh antologi Holidays, lengkap dengan tone dan suasana yang seperti dalam mimpi. Atau mungkin saja ini ganjil karena saya sama sekali tidak familiar dengan folklore dan tradisi seputar St. Patrick’s Day. Entahlah. Segmen ini ditulis dan disutradarai oleh Gary Shore, yang sebelumnya pernah membuat film Dracula Untold (2014).

Selanjutnya adalah segmen Easter atau hari paskah. Ini merupakan segmen yang paling menakutkan dari seluruhantologi Holidays, dan merupakan salah satu segmen favorit saya. Pada malam sebelum Paskah, seorang gadis muda takut untuk tidur karena ia takut pada kelinci paskah. Ibunya berusaha menenangkan putrinya, mengatakan kepadanya untuk tidak khawatir, dan menyinggung tentang kebangkitan Yesus (karena ini adalah malam Paskah) yang justru membuat putrinya semakin ketakutan. Di tengah malam, gadis itu terbangun karena mendengar suara dari ruang tamu. Ia pun pergi untuk menyelidikinya dan menemukan sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Saya pribadi tidak tahu mengapa perayaan hari Paskah menjadi identik dengan telur dan kelinci paskah, tetapi itu sudah semacam hal umum seperti hari Natal identik yang dengan Santa Claus. Tapi yang pasti, kelinci paskah tidak akan pernah terlihat sama lagi setelah menonton film pendek yang dieksekusi dengan sangat baik ini. Segmen dengan konsep yang original ini ditulis dan disutradarai oleh Nicholas McCarthy yang sebelumnya pernah membuat film The Pact (2012) dan At the Devil’s Door (2014).

Segmen ke-empat adalah Mother’s Day, bertemakan tentang kehamilan. Seorang perempuan bernama Kate merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia selalu hamil setiap kali berhubungan seks dengan kekasihnya walaupun sudah menggunakan kondom berlapis-lapis. Sudah berulangkali juga ia menggugurkan kandungannya. Dokter yang menangani Kate sudah menyerah dan tidak bisa membantu lagi memecahkan misteri kehamilan yang tak diinginkan Kate. Namun dokter ini memiliki seorang saudara perempuan yang mempraktekkan “pengobatan alternatif”, dan ia pun segera merekomendasikan pengobatan tersebut pada Kate. Ini adalah segmen yang terasa paling “serius” dibanding segmen-segmen lainnya, ditulis dan disutradarai oleh Sarah Adina Smith yang sebelumnya pernah membuat film The Midnight Swim (2014).

Setelah itu adalah segmen favorit saya yang lain, yaitu Father’s Day. Pada hari Ayah, Carol mendapat sebuah bingkisan berisi rekaman suara ayahnya yang ia pikir sudah meninggal. Rupanya, sudah sejak lama ayahnya mempersiapkan rekaman tersebut, yang berisikan petunjuk untuk Carol agar ia bisa menemukan ayahnya lagi. Menurut saya, ini adalah segmen terbaik dari keseluruhan antologi Holidays, dengan atmosfer mistisnya yang sangat kuat dan pace yang membuat semuanya terasa mencekam. Penulis dan sutradaranya adalah Anthony Scott Burns, yang pada saat antologi ini dibuat, belum pernah membuat film panjang sama sekali. Segmen Father’s Day jelas memperlihatkan bahwa Anthony Scott Burns adalah seseorang yang jelas sangat berbakat.

Segmen berikutnya adalah sebuah kisah balas dendam yang kocak dan memiliki ending yang memuaskan hati. Film ini bercerita tentang Ian, seorang germo yang mengekspolitasi perempuan-perempuan yang bekerja padanya sebagai cam girl. Tiga orang cam-girl yang bekerja pada Ian sudah muak dengan pelecehan seksual dan mental yang dilakukan oleh bos-nya. Pada malam Halloween, akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk “mengambil alih” bisnis Ian, sekaligus memberi pelajaran yang tidak akan pernah Ian lupakan. Segmen ini ditulis dan disutradarai oleh Kevin Smith, yang mungkin adalah satu-satunya sineas dengan pengalaman dan filmografi terbanyak dalam antologi Holidays. Saya pribadi belum pernah menonton satupun film buatannya, termasuk film komedinya yang membuat nama Smith dikenal oleh banyak orang, berjudul Clerks (1994) dan Chasing Amy (1997).

Kemudian kita memasuki segmen Christmas Day, yang memiliki tema senada dengan serial Black Mirror. Seth Green berperan sebagai Pete, seorang kepala keluarga yang berusaha mendapatkan kado natal terbaik bagi anaknya: sebuah gadget headset virtual reality bernama UVU. Headset ini memiliki teknologi yang bisa melihat ke dalam jiwa penggunanya. Makaapa yang diproyeksikan akan selalu berbeda untuk setiap orang. Namun rupanya tidak semua proyeksi yang diperlihatkan Uvu menampilkan hal-hal yang menyenangkan. Segmen ini ditulis dan disutradarai oleh Scott Stewart, yang sebelumnya pernah membuat film Legion (2010) dan Priest (2011).

Antologi Holidays ditutup dengan segmen New Year’s Eve, yang sangat sulit saya ceritakan di sini tanpa spoiler. Premis utamanya adalah tentang dua orang kesepian yang saling bertemu di malam tahun baru setelah sebelumnya berkenalan lewat aplikasi kencan. Ini adalah segmen paling penuh darah dari keseluruhan antologi ini, cukup fun dan sempurna sebagai penutup keseluruhan antologi Holidays. New Year’s Eve adalah segmen yang intens, tidak terlalu banyak basa-basi, dan memiliki twistmenyenangkan yang tak terduga sama sekali. Segmen ini ditulis oleh duo Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer, dan disutradarai oleh Adam Egypt Mortimer yang tiga tahun kemudian membuat film Daniel Isn’t Real (2019).

Antologi horror modern selalu menarik bagi saya, karena sering kali memperkenalkan kita pada banyak penulis dan sutradara-sutradara muda yang penuh inovasi dan ide cemerlang, sekaligus juga memungkinkan para sineas yang lebih berpengalaman atau lebih populer untuk bereksperimen dan mengambil risiko yang lebih besar. Namun film antologi sering juga dihujani kritik dan respon negatif. Itu adalah hal yang wajar, karena proyek antologi semacam ini merupakan sebuah kolaborasi dari banyak penulis dan sutradara yang berbeda-beda, masing-masing dengan gaya sinematiknya sendiri, menjadikan keseluruhan antologi tidak mungkin memiliki kualitas yang konsisten. Belum lagi para penonton memiliki preferensinya yang berbeda-beda pula. Jadi akan sangat sulit menyukai sebuah antologi secara menyeluruh. Akan selalu ada segmen yang menurut para penonton lebih mengecewakan daripada segmen lainnya. Saya pribadi cenderung berusaha untuk mengapresiasi keberagaman dan perbedaan kreativitas yang ditampilkan dalam sebuah antologi, karena saya sudah terlanjur menanamkan asumsi pada diri saya bahwa proyek antologi adalah proyek eksperimental. Itu membuat saya tidak berharap terlalu tinggi.

Menurut saya, konsep film antologi Holidays sendiri sebenarnya cukup brilian karena menggunakan tema perayaan-perayaan populer sebagai dasar bagi setiap cerita lepas yang ada. Bayangkan kalau Holidays menjadi antologi berseri, tentu masih banyak hari-hari libur lain yang bisa dieksplorasi menjadi cerita-cerita gelap lainnya. Sayangnya, beberapa cerita dalam antologi Holidays ini tidak benar-benar mengakar pada hari raya segmennya. Kebanyakan hanya merupakan cerita yang kebetulan saja terjadi pada sebuah hari libur tertentu, dengan contoh yang paling mencolok adalah segmen St. Patrick, Mother’s Day, Halloween, Christmas dan New Year’s Eve, dimana tidak ada satupun elemen dalam segmen-segmen itu yang secara langsung berhubungan dengan hari rayanya. Durasi pendek dari segmen-segmen dalam Holidays juga adalah masalah besar yang memiliki kelebihan dan kerugiannya sendiri. Kelebihannya bagi penonton, kalaupun ada sebuah cerita yang tidak cocok dengan selera pribadi kita, tidak butuh menunggu lama hingga film membawa kita ke cerita berikutnya. Tapi di sisi lain, durasi pendek membatasi para penulis film, dan itu mengakibatkan banyak dari cerita diakhiri dengan terburu-buru dan ada perasaan seperti tidak tuntas.

Seperti umumnya film antologi, tentu saja tidak semua segmennya bagus, dan itu kembali ke selera masing-masing penonton. Dari delapan cerita yang ada, saya pribadi sangat menyukai segmen Father’s Day dan Easter Day. Segmen Halloween, Chrismas, dan New Years eve cukup menghibur. Segmen Valentine adalah segmen yang paling klise, sementara segmen St. Patrick dan Mother’s Day berada dalam urutan terakhir dalam penilaian pribadi saya. Secara keseluruhan, menurut saya antologi Holidays cukup menyenangkan dan merupakan karya yang tidak buruk-buruk amat dari beberapa sineas film horor indie yang kurang dikenal tetapi berbakat.Namun ini bukanlah jenis film yang akan saya tonton lagi suatu hari nanti.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com