FROZEN
Sutradara: Adam Green
USA (2010)
Review oleh Tremor
Ketika mendengar film dengan judul Frozen, kebanyakan orang pasti langsung berpikir tentang film animasi buatan Disney. Tentu saja Frozen yang saya bahas kali ini bukanlah film Disney manapun, melainkan sebuah film survival horror karya penulis / sutradara Adam Green, yang dirilis 3 tahun sebelum Frozen Disney. Debut sinematik Adam Green dimulai pada tahun 2000 saat ia menulis sekaligus menyutradarai film komedi berjudul Coffee & Donuts. Namun adalah debut horrornya yang meroketkan nama Green enam tahun kemudian lewat film slasher komedi berjudul Hatchet (2006), yang saya pikir kini telah menjadi cult classic modern. Berikutnya Green membuat film thriller psikologis berjudul Spiral (2007), sebelum akhirnya kembali pada genre horror lewat Frozen pada 2010 sambil menawarkan jenis horror yang sama sekali berbeda dengan Hatchet. Lewat film Frozen, Adam Green sekali lagi membuktikan bahwa ia sanggup menjadi penulis serta sutradara berbagai sub-genre serta gaya yang berbeda dengan sangat baik, dari mulai yang berkualitas dan serius seperti Frozen, hingga yang cheesy dan gory seperti Hatchet.
Adam Green menggunakan premis yang sangat sederhana dan mengubahnya menjadi film worst-case scenario yang solid dan efektif. Begitu film dimulai, kita langsung diperkenalkan pada tiga karakter utamanya. Mereka adalah Dan Walker, sahabatnya Joe Lynch, serta pacar baru Walker yang bernama Parker. Walker dan Lynch sudah bersahabat sejak kecil, dengan hobi yang sama-sama mereka minati sejak lama, yaitu bermain ski salju di lereng gunung. Kali ini mereka bertiga menghabiskan akhir pekan di sebuah resort ski salju. Tak puas bermain ski seharian, mereka ingin berseluncur sekali lagi sebelum jam tutup resort. Apalagi hari itu adalah hari minggu, dan resort baru akan buka kembali pada hari jumat berikutnya. Awalnya, operator lift gantung menolak permintaan mereka karena resort akan segera tutup dan ada awan badai mulai mendekati sisi gunung tersebut. Namun setelah diyakinkan bahwa mereka akan meluncur turun secepatnya, operator lift mengabulkan permintaan ini dan berjanji akan menunggu mereka kembali sebelum mematikan mesin lift. Namun lewat kesalahpahaman sederhana dalam penggantian shift kerja operator lift, para pekerja resort berpikir bahwa sudah tidak ada lagi pengunjung yang menaiki lift. Berasumsi bahwa semua pengunjung sudah pulang, akhirnya resort ditutup dan semua mesin lift dimatikan. Tak satu orangpun yang menyadari kalau masih ada tiga remaja duduk di salah satu lift gantung, berjarak cukup jauh dari resort yang kini telah kosong. Saat mesin lift tiba-tiba berhenti bergerak inilah teror dalam film Frozen dimulai. Walker, Lynch dan Parker terjebak di lift gantung yang mati, belasan meter di atas tanah, di tengah-tengah perjalanan mereka menuju puncak lereng. Awalnya mereka berpikir kalau ini adalah masalah teknis yang biasa terjadi, dan berharap mesin lift akan segera bergerak lagi. Namun setelah semua lampu mulai dimatikan, mereka menyadari bahwa para pekerja resort lupa tentang keberadaan mereka. Ketiganya kini terjebak dalam situasi antara hidup dan mati yang serius, tanpa adanya peluang untuk meminta tolong pada siapapun karena tidak akan ada orang yang datang ke sana hingga hari Jumat. Situasi mengerikan ini diperparah dengan mulai bermunculannya sekelompok serigala lapar di bawah mereka saat hari semakin malam. Para remaja ini mau tidak mau dihadapi dengan tantangan untuk segera mengambil keputusan penting agar bisa selamat dari situasi mematikan ini, sebelum mereka mati membeku.
Elemen “horor” dalam film Frozen tidak berasal dari monster, hantu atau pembunuh bertopeng, tetapi dari situasi worst-case scenario yang bisa saja terjadi pada siapapun karena kelalaian yang sepele. Frozen adalah jenis film yang akan membuat para penontonnya mempertimbangkan tentang “apa yang akan saya lakukan dalam situasi seperti ini?” Dan sedihnya, memang tidak ada yang bisa dilakukan dalam situasi ini. Terjebak tergantung di ketinggian tanpa bisa melakukan apapun jelas merupakan gagasan yang menakutkan. Mungkin kita di Indonesia tidak bisa terlalu merasa relate dengan jenis ketakutan ini, karena kita tidak mengenal ganasnya udara dingin di bawah nol derajat, atau bagaimana menyakitkannya terpapar suhu musim dingin di ruang terbuka selama berjam-jam. Namun kalau kita membaca tentang tragedi-tragedi yang berhubungan dengan temperatur ini, situasi yang dihadapi oleh ketiga karakter dalam Frozen memang mengerikan. Tidak ada pilihan yang mudah bagi mereka. Diam dan mati membeku secara perlahan, kelaparan dan dehidrasi, ancaman frostbite serta hipotermia, atau cedera fatal kalau mereka nekat untuk lompat dari ketinggian lift gantung. Adam Green melakukan pekerjaan yang sangat baik dalam membangun keputusasaan, frustrasi dan rasa terisolasi yang ekstrim ini. Sulit untuk tidak merasakan simpati pada ketiga karakter dalam film ini.
Banyak elemen bagus dari Frozen yang membuatnya jauh lebih unggul dibandingkan seri Hatchet, meskipun kedua film tersebut tidak pantas untuk diperbandingkan. Yang pertama adalah kemampuan akting para aktornya, terutama Emma Bell yang memerankan karakter Parker. Aktingnya cukup luar biasa dimulai sejak ia terjebak di atas lift gantung, dari mulai khawatir, panik, frustrasi, ketakutan, histeris, hingga sedih, semua emosinya terasa nyata dan akan dengan mudah membuat penonton bersimpati. Selain itu, chemistry persahabatan antara Walker dan Lynch juga terasa tidak dipaksakan karena para aktornya (Kevin Zegers dan Shawn Ashmore) memang merupakan sahabat sungguhan dalam kehidupan nyata. Selain akting, keputusan Adam Green untuk tidak menggunakan greenscreen dan CGI juga patut diapresiasi. Itu berarti bahwa ketiga aktor utamanya benar-benar duduk di atas lift gantung sungguhan, belasan meter di atas tanah, dengan udara pegunungan dingin dan salju sungguhan selama berjam-jam proses shooting. Belum lagi saat kelompok serigala mulai bermunculan, Adam Green benar-benar menggunakan serigala sungguhan. Semua unsur realistik tersebut membawa kita pada elemen bagus berikutnya, yaitu makeup dan special effect non-CGI. Memang Frozen bukanlah jenis film bermuatan gore grafis seperti Hatchet. Namun tetap ada beberapa momen fisik yang menyakitkan dalam film ini yang dibuat lewat special effect tradisional yang meyakinkan.
Sebagai film drama survival horror yang mencoba untuk tetap realistis, Frozen bisa dibilang sangat efektif. Dengan bajet yang terhitung rendah, menggunakan hanya satu lokasi dan mengandalkan tiga cast utama saja, tentu film ini beresiko bisa menjadi membosankan. Namun lewat penulisan Adam Green, Frozen sama sekali tidak pernah terasa membosankan hingga film selesai. Sebaliknya, Adam Green justru mampu menjaga ketegangan di sepanjang durasi dengan sangat baik. Pada akhirnya Frozen adalah film survival horror yang mengesankan, dipenuhi dengan teror serta kengerian realistik tentang betapa tidak berdayanya manusia saat terjebak di alam bebas.