fbpx

MOVIE REVIEW: FROM BEYOND (1986)

FROM BEYOND
Sutradara: Stuart Gordon

USA (1986)

Review oleh Tremor

From Beyond adalah sebuah film cosmic horror / body horror khas era 80-an yang diadaptasi dari cerpen buatan H.P. Lovecraft dengan judul yang sama. Ini bukan pertama kalinya sutradara Stuart Gordon dan produser Brian Yuzna berkolaborasi mengadaptasi karya Lovecraft, dan bukan juga untuk terakhir kalinya. Satu tahun sebelum From Beyond, Brian Yuzna memproduseri film debut Stuart Gordon yang kemudian menyandang predikat cult dan wajib ditonton oleh pecinta horror manapun di dunia. Judulnya adalah Re-Animator (1985), yang juga diadaptasi dari karya Lovecraft dan diperankan oleh dua aktor/aktris favorit Stuart Gordon, yaitu Jeffrey Combs dan Barbara Crampton yang kembali ikut bermain dalam From Beyond. Keduanya adalah aktor yang hampir selalu muncul dalam film-film Stuart Gordon lainnya, dan menjadi sangat dikenal dalam komunitas horror hingga hari ini. Duet Gordon dan Yuzna kembali berkolaborasi dalam antologi Necronomicon: Book of Dead (1993) di mana aktor Jeffrey Combs berperan sebagai H.P. Lovecraft sendiri, dan film Dagon (2001) yang merupakan adaptasi dari cerita-cerita buatan Lovecraft juga. Stuart Gordon, Brian Yuzna dan seluruh tim kreatifnya tampaknya sangat mencintai semesta Lovecraft. Di kemudian hari Gordon tanpa Yuzna menyutradarai film adaptasi karya Lovecraft lainnya, salah satunya adalah Castle Freak (1995), sementara Yuzna sendiri sempat membuat sequel dari Re-animator yang berjudul Bride of Re-Animator (1990) dan Beyond Re-Animator (2003) sebagai produser sekaligus sutradara. Sebenarnya nama Brian Yuzna sudah tidak asing lagi dalam dunia film horor. Ia adalah seorang produser, sutradara sekaligus penulis film Amerika kelahiran Filipina yang sepertinya memang memiliki passion besar dalam horror dan science fiction. Pada tahun 2008 ia pernah memproduseri film antologi horror dari sutradara-sutradara Indonesia, berjudul Takut: Faces of Fear.

Apa yang saya suka dari From Beyond adalah, film ini tidak banyak berbasa-basi. Pace-nya cepat, dan ceritanya sangat sederhana. Seorang ilmuwan bernama Dr. Edward Pretorius, dibantu asistennya yang bernama Dr. Crawford Tillinghast, sedang melakukan penelitian ilmiah yang cukup berbahaya di kamar atap rumah Dr. Pretorius sendiri. Dalam penelitian ini, Dr. Pretorius menciptakan sebuah mesin yang disebut The Resonator, mesin yang tujuannya adalah merangsang kelenjar pineal yang terletak pada otak manusia dengan getaran resonansi pada frekuensi tertentu. Dr. Pretorius yakin bahwa kelenjar pineal adalah bagian otak manusia yang kalau diberi stimulasi dengan tepat akan mampu “membuka” indera ke-enam, atau beberapa orang sebut sebagai mata ke-tiga. Ia juga percaya bahwa terdapat dimensi lain yang secara pararel berada di realita sekitar kita yang bisa kita lihat kalau mata ke-tiga kita terbuka. Film ini langsung dibuka dengan bagaimana The Resonator ciptaan Dr. Pretorius akhirnya benar-benar membuktikan teorinya.

Keberhasilan mesin The Resonator pertama kali disaksikan oleh Crawford saat ia menyalakan mesin tersebut. Seluruh ruangan tiba-tiba dilanda angin kencang dan mulai dipenuhi cahaya warna-warna neon dari mulai biru, ungu, magenta hingga hijau, seakan membawa kita dalam realita lain yang asing. Namun efek tak terduga dari stimulasi kelenjar pineal ini adalah bahwa mereka yang terkena dampaknya bukan hanya dapat melihat dan merasakan kehadiran dimensi lain (termasuk apapun yang tinggal di dalam sana) saja, tetapi makhluk-makhluk itu juga bisa merasakan kehadiran kita. Setelah menyalakan Resonator, Crawford melihat mahluk serupa belut berwajah menyeramkan berenang-renang di sekitarnya. Crawford ketakutan dan segera mematikan mesin Resonator setelah salah satu monster belut menyerang pipinya. Mesin ini bekerja layaknya portal antar dimensi. Ia berlari panik dan segera memberi tahu Dr. Pretorius tentang hal itu, yang tentu saja malah segera menyalakan mesin Resonator lagi, karena ia ingin melihat dan mengalaminya secara langsung. Ini adalah ide yang buruk bagi Crawford. Dr. Pretorius tampak sangat bahagia dengan apa yang ia rasakan setelah Resonator kembali menyala, karena rupanya stimulasi pada kelenjar pineal juga membangkitkan sensasi dan gairah seksual manusia. Bagaikan sedang orgasme, Dr. Pretorius tampak sangat menikmati momen saat kelenjar pineal dalam otaknya bereaksi, dan ia bisa merasakan sesuatu yang purba dan kuat datang dari dimensi lain mendekati mereka. Crawford memohon pada bosnya agar mematikan Resonator, tetapi permintaan itu tidak digubris. Apa yang kemudian terjadi dalam ruangan tersebut tidak diperlihatkan kepada para penonton, karena film ini belum benar-benar dimulai. Tapi kita tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi. Crawford pun lari terbirit-birit dari keluar rumah Dr. Pretorius tak lama setelah seorang tetangga memanggil polisi karena merasa terganggu dengan suara-suara yang datang dari rumah Pretorius. Ketika polisi akhirnya tiba, mereka menangkap Crawford yang histeris. Mereka juga menemukan mayat Pretorius tergeletak tepat di samping Resonator dalam ruangan kerjanya, tanpa kepala. Lehernya tampak seperti habis diputar sedemikian rupa, dan tidak ada darah dimanapun. Dan film From Beyond pun akhirnya dimulai.

Jelas tidak ada yang percaya dengan pengakuan Crawford tentang apa yang terjadi pada Dr. Pretorius. Apalagi ceritanya adalah tentang mahkluk-mahkluk mengerikan yang datang dari dimensi lain, melahap kepala Dr. Pretorius hingga akhirnya Crawford merusak Resonator dengan kampak. Karena pengakuannya tersebut, Crawford dianggap mengalami gangguan jiwa dan ditahan di rumah sakit jiwa, dan polisi masih belum bisa memecahkan misteri tentang apa yang terjadi pada (kepala) Pretorius. Seorang psikiater muda bernama Dr. Katherine McMichaels akhirnya dipanggil untuk dimintai pendapat profesionalnya. Setelah mendengarkan langsung pengakuan Crawford yang masih histeris, Katherine melakukan CT scan pada otak Crawford. Hasilnya cukup mengagetkan: ukuran kelenjar pineal Crawford tampak lebih besar dari ukuran normal, dan ini bukan karena tumor. Dr. Katherine pun menjadi penasaran dan berpikir bahwa cerita Crawford soal cara kerja Resonator mungkin ada benarnya, dan mungkin eksperimen Dr. Pretorius dapat bermanfaat untuk mempelajari pasien-pasien skizofrenia, penyakit mental yang sedang ia teliti.

Dr. Katherine yakin bisa menemukan jawaban kalau ia boleh membawa Crawford kembali ke rumah Dr. Pretorius untuk melakukan reka ulang eksperimen Resonator. Setelah meminta ijin pada polisi, Crawford akhirnya boleh keluar dari RSJ bersama Katherine di bawah pengawasan ketat seorang detektif bertubuh besar bernama Bubba Brownie. Mereka bertiga segera pergi ke rumah Dr. Pretorius. Crawford sebenarnya tidak mau melakukan ini, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Ini satu-satunya jalan agar ia tidak terpenjara di RSJ dan dianggap gila. Crawford terpaksa sepakat untuk mengaktifkan kembali Resonator dengan syarat: harus dilakukan sesingkat mungkin. Crawford akan segera mematikan Resonator begitu Katherine bisa melihat makhluk-makhluk dari dimensi lain datang. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa dirinya tidak gila. Setelah Crawford mereparasi Resonator yang telah ia rusak sebelumnya, tak butuh waktu lama hingga Dr Katherine dan detektif Bubba akhirnya melihat dengan mata kepala mereka sendiri makhluk-makhluk dari dimensi lain itu datang. Tapi kali ini ada kejutan lain dari dimensi pararel: kembalinya Dr. Pretorius. Rupanya saat kepalanya terhisap ke dalam dimensi lain, Dr. Pretorius berhasil melewati portal kosmik dan menjadi bagian dari dimensi tersebut. Kini ia datang kembali dengan wujud yang secara perlahan mulai bertransformasi, obsesi yang lebih gelap, dan kekuatan yang berada di luar hukum alam yang kita kenal.

Ide sentral dari cerita-cerita buatan H.P. Lovecraft adalah “fear of the unknown” dan cosmic horror. Hal ini mencakup pada rasa takut manusia terhadap hal-hal yang di luar pengetahuan kita, terutama soal alam lain di luar realita yang kita kenal. Ide ini membuka gerbang ke lebih banyak tema untuk dieksplorasi, termasuk ide tentang banyak sekali dewa-dewa purba yang berumur lebih tua dari alam semesta (seperti dewa Dagon, Cthulhu, dan dewa-dewa lain dari keseluruhan semesta fiksi buatan Lovecraft: The Cthulhu Mythos), dan tentang alam/dimensi lain tempat di mana terdapat banyak mahkluk dan kekuatan menyeramkan yang menentang akal sehat. Inilah yang diangkat dalam cerita From Beyond. Di saat banyak film cosmic horor mencoba menggali rasa takut eksistensial dengan cara berfokus pada “alam lain yang gelap” seperti bisa kita temui dalam film-film seperti Event Horizon (1997), The Void (2016) ataupun seri Hellraiser, From Beyond adalah murni film monster. Kita tidak pernah melihat secara langsung seperti apa penampakan “dimensi lain” tersebut, namun kita bisa menyaksikan banyak tentakel, cakar, lendir dan daging prostetik. Monster utama dalam From Beyond, yaitu Dr Pretorius, sepintas mengingatkan kita pada monster-monster ala The Thing (yang juga terinspirasi oleh makhluk-makhluk lovecraftian), hanya saja dengan bajet special effects yang lebih rendah. Seperti sudah sering saya bahas, era 80-an adalah era dimana terdapat banyak sekali film horror menggunakan special effect tradisional dan makeup yang kreatif dan mengagumkan dalam menciptakan hal-hal luar biasa, jauh sebelum ada CGI. Dari mulai film The Thing (1982), Day of the Dead (1985), The Fly (1986), hingga makeup prostetik untuk adegan sadis dalam film-film slasher seperti Friday the 13th (1980) dan A Nightmare on Elm Street (1984), semuanya didominasi oleh penggunaan special effect dan makeup tradisional. Walaupun tidak se-fantastis film-film yang baru saya sebut, From Beyond tetap menjadi bagian dari kultur tersebut. Siapapun yang pernah menonton From Beyond tentu akan sulit melupakan wujud monster menjijikan Dr. Pretorius, dengan cara yang sama seperti kita tidak bisa melupakan monster Norris dalam film The Thing. Namun bukan berarti From Beyond tidak menggunakan special effect lain. Mereka juga menggunakan stop-motion dalam beberapa adegan, serta efek komputer minimalis saat menampilkan monster belut berenang-renang di udara. Pada pertengahan 80-an, beberapa film memang sudah mulai menggunakan efek-efek komputer minimalis seperti ini, misalnya hantu Slimer dalam film Ghostbusters (1984). Tapi efek komputer dari era ini tentu akan tampak ketinggalan jaman kalau kita melihatnya lagi sekarang. Itulah mengapa saya lebih mengagumi efek-efek tradisional dari film horror, karena ia tampak realistism meyakinkan, dan pasti dikerjakan dengan effort yang luar biasa.

From Beyond adalah salah satu dari banyak film horor yang menyenangkan yang pernah dirilis di era 80-an. Di luar beberapa kenorakannya, From Beyond tetap menjadi film monster berbajet rendah yang efektif dan fun, yang tetap bertahan hingga hari ini. Plot sederhana, ringan dan menghibur. Yang terpenting adalah, jangan menganggap film semacam ini terlalu serius. Saya sendiri berharap suatu hari Stuart Gordon dan Brian Yuzna akan bekerja sama lagi membuat film-film penuh darah, lendir, tentakel dan cahaya neon seperti From Beyond lagi suatu hari nanti.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com