CUJO
Sutradara: Lewis Teague
USA (1983)
Review oleh Tremor
Nama Stephen King mungkin sudah tidak asing di telinga para penggemar film horor maupun non-horor. Ia adalah salah satu penulis horor modern yang paling sukses dan produktif hingga hari ini. Namun di akhir 70an/awal 80an, belum banyak pembuat film yang mengadaptasi karya King, meskipun buku-bukunya sudah cukup populer di Amerika pada masa itu. Carrie (1976) dan The Shining (1980) adalah dua film pertama yang mencoba mengadaptasi novel buatan King. Keduanya sukses besar dan nama King mulai diperbincangkan dalam industri film. Pada tahun 1983, Cujo hadir sebagai film ketiga adaptasi karya Stephen King, disutradarai oleh Lewis Teague, seorang sutradara yang direkomendasikan langsung oleh King setelah ia terkesan dengan film buatan Teague sebelumnya yang berjudul Alligator (1980). Bersamaan dengan Cujo, ada dua film adaptasi King lain yang dirilis pada tahun yang sama, yaitu The Dead Zone dan Christine yang tak kalah suksesnya. Tahun 1983 menandakan nama King mulai semakin diperhitungkan dalam industri film. Sejak itu, karya-karyanya selalu dilirik oleh para pembuat film yang kehabisan ide original dan tertantang untuk mengadaptasi novel maupun cerpen buatan Stephen King ke dalam format film, yang masih terus berlanjut sampai hari ini.
Cujo adalah nama seekor anjing berukuran besar berjenis St. Bernard yang sangat bersahabat dan ramah. Perlu diketahui, anjing jenis St. Bernard memang terkenal sebagai anjing ramah dalam dunia nyata. Di masa lalu, anjing ini sering dijadikan sebagai anjing penyelamat bagi para pendaki yang tersesat dan terjebak di pegunungan Alpen. Dengan bulu tebal dan ukuran tubuh yang sangat besar seperti beruang, memungkinkan St. Bernard menerjang pegunungan es lebih cepat dibandingkan para petugas penyelamatan. Biasanya St. Bernard dibekali kontainer kecil pada lehernya yang berisikan minuman brandy, untuk diminum oleh para pendaki yang tersesat agar tubuh mereka tetap hangat sambil menunggu bala bantuan datang. Dengan mengetahui fakta ini, kita kembali ke film Cujo.
Film ini dibuka dengan Cujo yang menggemaskan sedang bermain-main sendirian dengan ceria mengejar seekor kelinci di padang rumput. Kelinci itu berhasil melarikan diri ke dalam sebuah liang kecil, yang rupanya dihuni oleh banyak sekali kelelawar. Ketika kepala Cujo berusaha mengintip ke dalam lubang sambil menggonggong, moncongnya digigit oleh beberapa ekor kelelawar yang agresif. Apa yang tidak Cujo ketahui, kelelawar-kelelawar ini mengidap rabies. Cujo yang malang pun mulai terinfeksi rabies. Cujo adalah anjing milik Brett Camber, anak laki-laki dari seorang montir mobil bernama Joe Camber yang hidup di daerah peternakan terpencil. Joe sendiri adalah seorang suami dan ayah yang sangat kasar pada keluarganya. Penonton lalu diperkenalkan dengan keluarga Trenton, keluarga Amerika yang memiliki masalah domestiknya sendiri seperti pada umumnya kehidupan pernikahan: Vic seorang ayah yang selalu sibuk dan sedang tertekan dengan karirnya, Donna seorang istri yang jenuh dan merasa hampa dengan kehidupan rumah tangganya, dan anak mereka Tad yang selalu ketakutan dengan imajinasi soal monster di dalam lemari bajunya. Suatu hari mobil Donna mengalami kerusakan dan akan segera mati total kalau tidak segera dibawa ke bengkel. Ketika Vic harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan yang mendesak, Donna ditemani Tad membawa mobil tersebut ke kediaman montir Joe Camber dengan sisa-sisa kesanggupan mobilnya. Sesampainya di sana, tidak ada satu orangpun keluarga Camber yang terlihat selain Cujo, seekor anjing yang sebelumnya Donna ketahui sebagai anjing yang ramah dan bersahabat, terutama pada anak kecil seperti Tad. Namun Cujo sudah berubah. Mulutnya mengeluarkan busa dan perilakunya sangat agresif. Ia berusaha menyerang Donna dan Tad yang harus bersembunyi di dalam mobilnya yang kini sudah tidak mau menyala sama sekali. Dengan persediaan minum yang sangat sedikit dan hawa panas yang menyengat, mereka terjebak di dalam kendaraan mereka sendiri. Seakan hanya ada dua pilihan bagi mereka, meninggal perlahan karena dehidrasi, atau dikoyak-koyak oleh Cujo yang terus memantau mereka di luar mobil.
Ada banyak sekali film natural horror bertema hewan ganas yang menyerang manusia, dari mulai Jaws (1975), Piranha (1978), Alligator (1980), The Pack (2015), hingga Crawl (2019). Tapi Cujo adalah sebuah film yang lebih dari sekedar serangan hewan. Kisah dalam Cujo memiliki kedalaman dan storytelling yang sangat bagus, karena tentu saja ini adalah karya Stephen King yang sangat terkenal dengan kemampuan storytelling dan membangun struktur cerita dengan baik. Film ini bukan hanya berfokus pada serangan Cujo saja, tetapi juga drama pernikahan di ujung tanduk. Seluruh drama rumah tangga dalam film Cujo juga bukan ditulis hanya untuk sekedar mengisi waktu belaka, tetapi untuk mempersiapkan seluruh alasan yang masuk akal tentang mengapa Donna serta Tad harus pergi ke bengkel tanpa Vic, dan mengapa keluarga montir Camber tidak ada di rumah. Insiden serangan Cujo akan memberi jalan bagi berkembangnya arc karaketer Donna dan Vic untuk mendapatkan kesempatan kedua yang mereka butuhkan.
Saya pikir banyak orang menyukai anjing, apalagi kalau anjing tersebut sangat bersahabat seperti St. Bernard. Stephen King bukan hanya mengeksplorasi kengerian dengan membayangkan anjing semasif St. Bernard menjadi sangat agresif karena terinfeksi rabies dan menyerang siapapun yang ia temui, tetapi juga membangkitkan rasa simpati penonton karena bagaimana pun Cujo sebenarnya adalah anjing yang sangat jinak. Bukan tanpa sebab King memilih anjing besar namun ramah seperti St. Bernard untuk karakter Cujo, dan bukan Rottweiler atau Pitbull yang memang sering diidentikkan sebagai anjing galak. King dengan sengaja ingin menumbuhkan rasa simpati pada para pembaca/penonton, bahwa sebagaimanapun agresifnya Cujo, ini adalah situasi yang menyedihkan meskipun mengerikan. Cujo tidak bisa disalahkan atas semua kekerasan yang ia lakukan karena ia pun sedang sakit. Bicara soal kesedihan, ada salah satu adegan yang cukup menyedihkan bagi saya pribadi. Ketika Cujo mulai berangsur sakit, ia pergi dari rumah. Brett yang akan pergi ke rumah keluarga ibunya, memanggil-manggil Cujo di tengah kabut pada dini hari. Dalam adegan ini, Cujo hanya berdiri di sana bertatap mata dengan Brett untuk terakhir kalinya dan langsung pergi menghilang di balik kabut, meninggalkan Brett. Cujo yang selalu menemani dan pastinya memiliki bonding kuat dengan Brett, seakan tidak ingin menyakiti Brett dan memilih untuk meninggalkannya. Saya, yang kebetulan juga memiliki anjing peliharaan yang sangat saya sayangi, bisa mengkonfirmasi bahwa adegan pertemuan terakhir Brett dan Cujo ini cukup menyayat hati.
Fakta bahwa Cujo terinfeksi rabies membuat skenario film ini menakutkan, karena tak ada yang bisa menghalangi anjing dengan fisik seperti Cujo untuk menyerang. Ia bahkan mampu membuat kerusakan cukup parah pada mobil Donna hanya dengan cara menabrakkan dirinya sendiri pada body mobil. Ukuran Cujo yang nyaris seperti beruang juga memungkinkannya merobek-robek tubuh manusia dengan mudah. Bayangkan seberapa kuat rahang Cujo dengan ukuran kepala sebesar itu. Selain itu, kengerian dalam Cujo juga datang dari atmosfer klaustrofobik dan keputusasaan yang sangat kuat, bagaimana Donna dan Tad terjebak seakan tanpa adanya kesempatan untuk menyelamatkan diri ataupun mencari bala bantuan. Paruh kedua film Cujo benar-benar menggambarkan sebuah situasi buruk yang akan membuat penonton khawatir dengan nasib mereka berdua.
Saya selalu mengagumi dengan bagaimana sebuah produksi film melibatkan aktor hewan sungguhan di dalamnya, karena tentu bekerja sama dengan aktor hewan tidak akan semudah bekerja sama dengan aktor manusia. Apalagi anjing St. Bernard pada dasarnya adalah anjing ramah, lalu bagaimana bisa ia diminta untuk berperan agresif dan mengancam? Trik dan perintah apa yang digunakan oleh pelatihnya untuk membuat Cujo tampak begitu mengancam? Dari trivia yang saya baca, para crew film ini harus mengikat ekor Cujo pada kakinya sendiri karena ekornya selalu mengibas-ngibas di sepanjang proses pengambilan gambar. Bagi mereka yang tidak familiar dengan anjing, kibasan ekor menandakan anjing tersebut sedang merasa senang dengan mood yang playful. Jadi, melihat Cujo dengan kibasan ekor tentu akan merusak kengerian yang hendak dibangun, karena ia akan tampak sedang bermain dengan ceria. Sayangnya ada satu adegan yang mungkin terlewat dalam proses editing: ketika Cujo menyerang dengan ekor yang berkibas-kibas, seakan ia ini hanyalah permainan yang menyenangkan. Sementara anjing yang menderita rabies, biasanya memiliki ekor yang menukik ke dalam, tanda anjing sedang stress. Namun ini adalah kesalahan minor yang sama sekali tidak merusak apapun dalam film Cujo. Perlu dicatat, ada sebanyak lima ekor St.Bernard yang berbeda digunakan untuk memerankan Cujo dalam film ini, dan merekalah bintang sesungguhnya dalam film ini. Bintang lain dalam film Cujo yang juga bekerja dengan sangat maksimal adalah aktris Dee Wallace yang memerankan Donna, serta aktor cilik Danny Pintauro yang memerankan Tad.
Cujo adalah film teror serangan hewan yang sangat realistis, karenanya sangat mengerikan dan membekas. Tapi sebenarnya ada sedikit perbedaan antara film dengan bukunya, meskipun keduanya sama-sama bagus. Kisah Cujo dalam versi buku memiliki ending yang jauh lebih memilukan dan suram, yang sepertinya tidak akan membuat penonton film senang kalau versi itu difilmkan. Diubahnya ending Cujo dalam versi film adalah keputusan yang bijak. Secara keseluruhan, film Cujo dengan ending versinya sendiri juga tak kalah bagusnya. Kalau saya ditanya apa kekurangan film ini, mungkin saya akan jawab kurangnya adegan-adegan yang memperlihatkan kedekatan Cujo dengan Brett Camber, karena kedekatan itulah yang akan membuat kita ikut menyayangi Cujo, dan akan membuat kisah ini lebih menyentuh dan tragis. Namun saya tidak akan mengeluh sama sekali. Film ini tetap merupakan salah satu film adaptasi karya King terbaik, efektif, mengerikan dan sangat saya rekomendasikan.