MOVIE REVIEW: BURNT OFFERINGS (1976)

BURNT OFFERINGS
Sutradara: Dan Curtis
USA (1976)

Review oleh Tremor

Burnt Offerings adalah sebuah film horor supranatural yang disutradarai oleh Dan Curtis, diadaptasi dari novel buatan Robert Marasco tahun 1973 dengan judul yang sama. Bagi sebagian penggemar horror 70-an, Burnt Offerings dianggap sebagai sebuah film yang memberi pengaruh cukup signifikan dalam kultur horor, terutama pada beberapa judul film horor dengan tema serupa yang lahir setelah Burnt Offerings, yang tampak “meminjam” dan mengembangkan elemen-elemen original darinya. Saya menduga Burnt Offerings sedikitnya memberi inspirasi bagi beberapa film horor 70-an sukses seperti The Shining (1980) dengan premis yang sangat mirip dan yang paling sering diperbandingkan dengan Burnt Offerings; The Sentinel (1977) terutama dalam twist ending-nya; The Amityville Horror (1979) yang juga memiliki premis mirip dengan The Shining; hingga Phantasm (1979) dengan karakter Tall Man-nya yang bisa saja merupakan saudara jauh dari sosok supir mobil jenazah yang misterius dan menyeramkan dalam Burnt Offering. Menariknya, Phantasm juga menggunakan lokasi rumah tua yang sama dengan yang digunakan dalam Burnt Offerings, yaitu rumah Dunsmuir yang terletak di California. Rumah tua ini sering dijadikan lokasi syuting banyak film, namun Burnt Offerings adalah yang pertama kali menggunakannya. Film-film yang sebelumnya saya sebut kemudian mendapat kesuksesan yang jauh lebih besar, membuat Burnt Offerings sedikit terlupakan. Bicara soal perbandingan Burnt Offerings dengan The Shining (1980), film tersebut diadaptasi dari novel buatan Stephen King yang baru diterbitkan pada tahun 1977, satu tahun setelah Burnt Offerings dirilis. Jadi, tidak menutup kemungkinan juga kalau King mendapat inspirasinya dari Burnt Offerings versi novel ketika menulis The Shining karena keduanya memiliki premis dasar yang sangat mirip: satu keluarga terisolasi dalam sebuah rumah tua yang selalu meminta tumbal, memanipulasi, meneror dan membuat penghuninya kehilangan akal sehat.

Sepasang suami istri Ben dan Marian Rolf ingin mengajak anak mereka David serta bibi Ben yang bernama Elizabeth untuk menghabiskan liburan musim panas di sebuah rumah megah yang mereka sewa, dilengkapi halaman luas serta kolam renang. Beruntung, mereka mendapat harga sewa yang sangat murah dari pemilik rumah, sepasang adik kakak yang eksentrik yaitu Arnold dan Roz Allardyce. Namun ada syarat sewa yang terdengar sangat aneh: ibu Allardyce yang sudah lansia akan tetap tinggal di rumah tersebut. Jadi Arnold dan Roz meminta keluarga Ben untuk jangan pernah mengganggu apalagi bertemu dengan ibu mereka yang biasanya lebih suka mengurung diri di kamar paling atas. Tugas keluarga Ben hanyalah menyediakan makanan tiga kali sehari untuk ibu Allardyce dengan cara menaruh nampan makanan di luar kamarnya setiap hari. Sejak awal Ben sudah merasa ragu dengan harga yang terlalu murah ini. Too good to be true. Apalagi dengan syaratnya yang sangat ganjil. Manusia mana yang tega meninggalkan orang tua lansia sendirian untuk diurus oleh orang asing yang bukan pekerja sosial? Namun Marian bersikeras pada Ben bahwa ini adalah rumah idamannya, dan kesempatan dengan harga sewa murah seperti ini tidak akan datang dua kali. Marian juga berjanji bahwa dialah yang akan mengurus seluruh kebutuhan ibu Allardyce setiap harinya. Ben yang tidak ingin mengecewakan istrinya akhirnya setuju untuk menyewa rumah tersebut. Sejak mereka berempat tinggal di rumah tua itu, beberapa kejadian aneh mulai terjadi. Marian secara perlahan semakin terobsesi dengan rumah tua tersebut, sekaligus terobsesi dengan ibu Allardyce yang tidak pernah terlihat sosoknya. Ben mulai kehilangan dirinya sendiri dan mulai dihantui mimpi buruk yang sudah lama tidak pernah menghampirinya, kesehatan bibi Elizabeth semakin menurun, dan David selalu nyaris menjadi korban dari banyak kejadian membahayakan. Semakin lama mereka tinggal di sana, Ben semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan rumah tersebut. Ia berusaha mengajak keluarganya untuk segera pergi meninggalkan rumah itu, namun usahanya seakan dihalang-halangi oleh kekuatan supranatural jahat, termasuk Marian yang menolak meninggalkan rumah tersebut.

Burnt Offerings adalah kisah rumah berhantu yang sangat halus dan berjalan cukup lamban. Sebagai film horor, film ini lebih menonjolkan cerita dan atmosfer seram, tanpa satupun adegan penampakan maupun adegan berdarah. Apa yang saya suka dari Burnt Offerings adalah bagaimana film ini sanggup memberikan penjelasan secara rapi atas kejadian-kejadian supranatural dan kekuatan jahat rumah tua yang mempengaruhi perilaku penghuninya, sambil dengan sengaja membiarkan beberapa aspek tetap menjadi misteri. Beberapa misteri diantaranya adalah soal mimpi buruk Ben yang menampilkan satu karakter supir mobil jenasah dengan seringai menyeramkan, dan tentu saja sosok ibu Allardyce. Kedua sosok ini seakan mewakili dimensi lain yang tak bisa dijelaskan akal sehat. Saya pikir misteri-misteri supranatural ini adalah elemen terkuat dari Burnt Offerings, yang akan membuat penonton bisa menarik kesimpulan mengerikannya sendiri setelah film berakhir.

Saya juga suka dengan bagaimana sutradara Dan Curtis cukup peduli dengan banyak detail visual yang sangat mendukung keseluruhan cerita. Ketika keluarga Ben memasuki rumah tersebut untuk pertama kalinya, banyak hal yang tampak sangat busuk, bobrok dan tidak terawat. Dengan sengaja Curtis memperlihatkan akar-akar tanaman liar yang menjalar di permukaan pintu, tanaman-tanaman yang mati kekeringan, hingga kolam renang yang sangat kotor. Namun sejak ada yang menghuni, segala hal dalam rumah tersebut secara perlahan mulai berangsur segar dan indah kembali, bukan karena Marian merawatnya, namun karena rumah tersebut seakan mendapatkan “nutrisi” yang dibutuhkannya. Jadi jelas rumah tua dalam Burnt Offerings adalah karakter antagonis utama dari film ini, yang secara perlahan memanipulasi dan memangsa kewarasan penghuninya. Itu adalah ide yang menarik kalau kita belum pernah menonton The Shining sebelumnya. Detail lain yang cukup diperhatikan oleh Curtis juga ada pada penggambaran karakter Marian. Semakin lama Marian menghabiskan waktu di ruangan depan kamar ibu Allardyce, pilihan pakaiannya pun secara perlahan mulai berubah menjadi semakin tua seperti kembali ke era Victoria.

Saya juga cukup mengapresiasi penulisan karakter Ben yang tidak sebodoh seperti pada umumnya karakter film horor. Sejak awal ia sudah berfirasat buruk tentang rumah tersebut, dan ia berusaha mengajak keluarganya untuk segera pergi dari sana di tengah film. Namun kalau kita harus membandingkan film ini dengan film-film horror era 70-an bertema serupa yang dirilis setelah Burnt Offerings, film ini jelas terasa lemah. Selain itu, menurut saya durasi Burnt Offerings agak terlalu lama dari seharusnya, dengan banyak adegan tidak penting serta dialog bertele-tele, yang kalau dihilangkan pun sebenarnya tidak akan mengubah apapun. Apa yang menyelamatkan film ini dari kegagalan total adalah finale dan ending-nya yang cukup memuaskan, gelap dan sangat membayar penantian panjang penontonnya. Mungkin bagi kita penonton modern, sudah bisa menebak ke arah mana twist film ini. Namun bayangkan rasanya menjadi penonton pertama Burnt Offering di bioskop pada tahun 1976. Meskipun Burnt Offerings bukanlah film haunted-house 70-an yang menyeramkan dan bukan yang terbaik, namun film ini tetap layak untuk diapresiasi karena pengaruhnya yang cukup besar bagi generasi horror setelahnya.