BRAID
Sutradara: Mitzi Peirone
USA (2018)
Review oleh Tremor
Braid adalah film thriller schizo-surealis yang, seperti dicampur dengan halusinogen, akan membuat penonton mengalami sedikit disorientasi saat menontonnya. Ini adalah debut full-length ambisius seorang sutradara asal Italia bernama Mitzi Pierone di mana ia juga menulis cerita dalam film ini. Sebenarnya cerita dalam Braid penuh dengan kejutan dan tikungan tajam serta diakhiri dengan twist, dan menjadi agak sulit untuk membahas plot-nya tanpa merusak semua kejutan (dan kebingungan) yang ada. Tapi saya akan mencobanya menuliskan garis besarnya saja.
Film ini dibuka dengan dua orang perempuan, Petula dan Tilda, yang baru saja mulai bekerja sebagai pengedar berbagai jenis narkoba. Saat sedang asik menghitung barang siap edar di dalam apartemen mereka, polisi datang melakukan penggerebekan. Petula dan Tilda berhasil melarikan diri lewat jendela sebelum polisi mendobrak pintu. Dalam pelarian mereka, Petula menelpon bos-nya yang bernama Coco untuk memberitahu tentang apa yang terjadi. Tetapi Coco tidak mau tahu. Mereka harus tetap menyetorkan uang sebesar kira-kira 80.000 dollar dalam waktu 48 jam pada Coco, seharga barang yang mereka tinggalkan dalam penggerebekan. Kebingungan mencari cara untuk membayar, akhirnya mereka memutuskan untuk mencoba merampok salah satu teman masa kecil mereka bernama Daphne yang kini adalah jutawan karena memegang penuh hak waris dari keluarga kayanya.
Masalahnya, Daphne mengalami gangguan mental. Ia hidup dalam delusi dan dunia fantasi yang mereka bertiga ciptakan saat masih kecil, berupa permainan peran imajinasi ibu-anak-dokter rumit yang Daphne selalu minta mainkan bersama Petula dan Tilda. Permainan berpura-pura. Lewat sebuah flashback penonton dibawa ke masa kecil mereka bertiga. Daphne, Petula dan Tilda kecil bermain di rumah pohon yang berada di tanah milik keluarga Daphne yang sangat luas. Sejak kecil Daphne tampak sebagai pemegang kendali. Dalam permainan ini ia berperan sebagai ibu, Tilda sebagai anaknya, dan Petula sebagai dokter yang harus memeriksa Tilda. Atas permintaan Daphne sebagai tuan rumah, permainan ini terus dimainkan oleh mereka bertiga. Kita lalu diberi petunjuk bahwa Tilda sebenarnya muak dengan permainan ini, karena mereka lakukan hampir setiap hari. Tapi Daphne sudah menentukan aturan mainnya sejak kecil, yang hingga kini masih berlaku di dalam rumah mewahnya. Aturan main tersebut adalah: 1. Semua orang (mereka bertiga) harus ikut bermain, 2. Tidak ada orang luar yang boleh ikut bermain, dan 3. Tidak ada yang boleh meninggalkan permainan. Kembali ke masa kini, Petula dan Tilda harus setuju untuk terlibat dalam permainan ini lagi supaya mereka bisa memasuki rumah Daphne. Petula meyakinkan Tilda agar mau melakukannya demi mendapat kepercayaan Daphne dan memiliki cukup waktu untuk mencari lokasi brankas dalam rumah megah Daphne.
Sesampainya di rumah Daphne, Tilda dan Petula menyembunyikan ponsel dan KTP mereka di dalam kotak surat depan rumah. Tilda pun masuk ke dalam rumah dan bertindak seolah-olah tak terjadi apa-apa dan memanggil Daphne dengan panggilan “ibu”. Daphne sempat terdiam kaget. Sahabatnya yang sudah lama sekali menghilang tiba-tiba kembali memanggilnya ibu. Namun dengan cepat ia mulai terhisap ke dalam dunia permainan masa kecilnya lagi dan mulai memperlakukan Tilda sebagai anaknya sendiri. Tak lama kemudian Petula membunyikan bel, datang sebagai dokter yang siap memeriksa Tilda. Dephne semakin terputus dari realita dan mereka harus mengikuti permainan peran ini karena peraturan dalam rumah Daphne tetap berlaku: semua orang harus ikut bermain. Dalam beberapa flashback lain yang ditampilkan kemudian, kita bisa mulai memahami bahwa ikatan persahabatan mereka memang cukup kuat sejak kecil. Kita juga mendapat sedikit gambaran masa lalu antara ketiganya dan apa yang membawa mereka hingga ke titik ini. Apa yang dimulai sebagai permainan biasa dan tampak tidak mengancam dengan cepat berubah menjadi sandiwara mematikan penuh darah yang akhirnya mulai membawa semua karakter dalam perjalanan menuju ketidakwarasan, termasuk para penonton.
Pada awalnya, Braid tampak seperti sebuah film perampokan biasa yang tidak banyak berbasa-basi, tetapi seiring berjalannya waktu film ini mulai bermain-main dengan konsep realita. Para penonton akan menemukan diri mereka jatuh ke dalam dunia fantasi bersama dengan para karakternya yang sama-sama kehilangan rasa tentang waktu, ruang, dan realita. Misalnya, dalam satu adegan, Petula dan Tilda disekap oleh Daphne karena telah melanggar aturan main. Tetapi dalam adegan berikutnya, keduanya berlarian di koridor-koridor rumah secara terpisah untuk mencari brankas di rumah Daphne. Awalnya ini tampak seperti sesuatu yang aneh dan tidak terhubung satu sama lain. Tapi saya yakin bahwa semua kebingungan yang dihasilkan oleh film ini memang disengaja. Apa yang pada awalnya terasa membingungkan mulai sedikit diberi kejelasan sebelum film ini berakhir berupa potongan-potongan informasi dan visual terbatas, sehingga penonton perlu menyimpulkan realitas film ini bagi diri mereka sendiri. Pengungkapan yang terbatas dalam film ini memungkinkan sutradara Peirone mendapat cukup ruang dan kesempatan untuk menuangkan banyak montase-montase surealis (dan psikologis) hingga ditutup dengan epilognya yang melankolis dan semakin mirip dengan alam mimpi. Karakter Petula sendiri merasa semakin kebingungan dalam babak ketiga film ini, dan saya yakin rasa bingung yang sama juga ikut dirasakan oleh semua penonton Braid. Sejak film ini dimulai kita semua ada di posisi yang sama dengan Petula. Dan sama seperti Petula yang pada awalnya yakin betul bahwa merampok Daphne adalah sesuatu yang mudah, penonton juga akan merasa sama yakinnya bahwa tidak akan ada hal baru yang bisa ditemui dalam film Braid. Sama seperti Petula, kita semua salah sangka. Braid bagaikan kotak puzzle yang saat kita pikir berhasil kita selesaikan, kita mulai menemukan kotak puzzle lain di dalamnya.
Dalam beberapa adegan, film ini juga memiliki suasana “trippy” dan psikedelik karena Petula dan Tilda sempat mengkonsumsi obat-obatan halusinogen. Ini membantu Braid dalam membuat penontonnya semakin kehilangan orientasi antara mana yang nyata dan tidak. Pertama, kebingungan karena kondisi psikologis karakternya, dan kedua, ditambah dengan konsumsi halusinogen yang membuat para karakter dalam film ini (dan penonton) semakin terpisah dengan realita. Banyak hal yang sureal dalam Braid yang sangat terbantu lewat visual-visual “trippy” berwarna-warna cerah (dan kadang hitam putih) tersebut. Saya punya dugaan kuat kalau film eksperimental ini penuh dengan upaya keras untuk menjadikan dirinya sebagai film indie yang edgy, out of the box. Atau mungkin juga film ini memang ingin lebih mengedepankan style daripada isi. Braid jelas akan membagi penonton antara mereka yang merasa menonton film ini hanya akan membuang-buang waktu, dan mereka yang berpikir bahwa ada makna simbolik dalam ceritanya. Saya sendiri tidak terlalu memusingkan makna film ini. Tanpa berekspektasi apapun sebelumnya, saya cukup menikmati rasa bingung serta disorientasi saat menonton film eksperimental seperti Braid. Saya bahkan tidak mencari video / artikel yang berhubungan dengan “Braid ending explained“, karena jujur saja untuk film ini saya tidak peduli. Sudah bisa dipastikan kalau Braid bukanlah jenis film yang akan saya tonton ulang suatu hari nanti. Kalau kamu adalah tipe penonton yang selalu mempertanyakan “mengapa si A melakukan ini, dan si B melakukan itu?” atau sibuk memikirkan alasan serta korelasi antar adegan, film ini jelas akan mengganggu kalian. Maksud saya, mempertanyakan alasan dan hal-hal semacam itu adalah hal yang normal, tapi Braid jelas bukan untuk semua orang.
Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com