fbpx

MOVIE REVIEW: BLOOD AND BLACK LACE (1964)

BLOOD AND BLACK LACE
Sutradara:
Mario Bava
Italia (1964)

Review oleh Tremor

Blood and Black Lace adalah salah satu film paling terkenal dan berpengaruh dari sutradara legendaris Italia, Mario Bava. Sebelumnya, Mario Bava sudah merilis film-film horror lainnya seperti Black Sunday (1960) yang juga pernah saya tulis reviewnya di sini, The Girl Who Knew Too Much (1963), dan Black Sabbath (1963). Jadi saat pertama kali Blood and Black Lace dirilis, Bava sudah mendapatkan predikat sebagai sutradara horror berkualitas di Italia. Tetapi baru dalam film Blood and Black Lace inilah ia memegang penuh kendali atas segala sisi kreatif dimana ia menyutradarai, ikut andil dalam divisi sinematografi, dan juga ikut menulis skenario.

Banyak orang menganggap bahwa Blood and Black Lace adalah film ” true giallo” pertama, sekaligus karya proto-slasher pertama di dunia. Dalam beberapa review yang pernah saya tulis sebelumnya, rasanya saya sudah pernah membahas mengenai apa itu genre giallo dan apa itu genre slasher. Tapi mungkin perlu saya tulis ulang sedikit bagi para pembaca baru. Giallo, adalah sebuah subgenre horror dalam dunia literatur dan perfilman Italia tahun 1960/70-an yang sepintas mirip dengan fiksi kriminal. Fiksi kriminal adalah fiksi yang berfokus pada kasus pembunuhan, melibatkan investigasi pembunuhan yang penuh teka teki dan misteri, membuat pembaca / penonton ikut menerka-nerka, lalu ditutup dengan pengungkapan. Novel-novel Agatha Christie, misalnya. Sementara Giallo, bisa dibilang sebagai fiksi kriminal yang dengan sengaja justru banyak berfokus pada adegan brutal pembunuhannya. Giallo adalah fiksi kriminal / investigasi yang digabungkan dengan shocking horror dan kekerasan. Dalam giallo, kalian akan disuguhi tentang bagaimana seseorang dibunuh secara mendetail, dengan cara-cara membunuh yang kadang tidak lazim, dengan durasi yang lama. Para sutradara giallo tampaknya sangat menikmati hal tersebut.  Dan biasanya, ciri umum film giallo lainnya adalah penggunaan visual dan tone pencahayaan yang sangat menonjol. Tak hanya itu, kemisteriusan sosok pembunuh juga sangat penting. Karenanya, film-film Giallo biasanya menampilkan sosok para pembunuh bertopeng. Selain Blood and Black Lace, film-film Giallo Italia yang sangat populer antara lain adalah Don’t Torture a Duckling (1972) karya Lucio Fulci; All the Colours of the Dark (1972) dan Torso (1973) karya Sergio Martino; The Bird with the Crystal Plumage (1970), Profondo Rosso (1975) dan Terror At The Opera (1987) karya Dario Argento. Genre Giallo Italia sendiri kemudian menginspirasi terciptanya genre slasher horror yang mulai mewabah dalam industri horror daratan Amerika pada tahun 1980-an. Banyak orang berpendapat kalau cetak biru film slasher pertama adalah film Black Christmas (1974) karya Bob Clark asal Kanada. Lalu pada tahun 1978, John Carpenter menyempurnakan cetak biru ini lewat film Halloween (1978), dan genre ini dibuat lebih gila lagi oleh Sean S. Cunningham lewat film Friday the 13th pada tahun 1980. Tapi gaya dan unsur utama yang dipakai oleh film-film slasher pionir sudah bisa ditemukan dalam film-film giallo Italia sebelum. Blood and Black Lace adalah salah satu film pertama yang menggunakan unsur pembunuh bertopeng yang mengendap-ngendap, membuntuti korban dengan gaya POV, membunuh dengan senjata apapun selain pistol, dan tidak banyak bicara setiap kali beraksi. Yang tak kalah penting adalah, film ini juga menjadi salah satu film pertama yang memiliki “body count” (jumlah korban) yang tinggi, sebuah ciri khas lain dari film slasher. Dan kenyataannya, genre film Giallo Italia dan Slasher Amerika tidak akan pernah lahir tanpa adanya Mario Bava dan Blood and Black Lace.

Di Italia, film ini dikenal dengan judul Sei donne per l’assassino yang kalau diterjemahkan dengan bebas artinya adalah “Six Women for the Killer”. Jadi kita akan melihat enam pembunuhan dengan cara yang berbeda-beda. Blood and Black Lace dibuka dengan sangat menawan. Sambil diiringi musik jazz yang seksi, film ini memperkenalkan para aktor dan aktris-nya dalam komposisi frame cantik yang penuh dengan warna-warni brilian. Bahkan boneka manekin yang ikut menghiasi layar pun berwarna merah menyala. Hanya butuh lima menit sejak film ini dimulai hingga seseorang terbunuh. Pada suatu malam yang berangin kencang, seorang model fashion bernama Isabella dibunuh secara brutal oleh seseorang di luar rumah fashion tempat Isabella bekerja. Sosok pembunuhnya sangat misterius. Wajahnya tersembunyi di balik kain stoking polos. Ia mengenakan jaket panjang bewarna hitam, bersarung tangan kulit, dan bertopi fedora. Ini adalah penampilan sosok pembunuh klasik dalam giallo, yang secara visual sepintas terlihat mirip dengan karakter The Blank dari komik Dick Tracy dan karakter Rorschach tanpa noda tinta dari komik Watchmen.

Sebagian besar setting lokasi dalam film ini banyak berada di tempat tertutup, sebuah rumah megah dan mewah di mana disana para penghuni dan pekerjanya saling kenal, sekaligus saling menyimpan rahasia. Rumah megah yang berfungsi sebagai rumah fashion ini dipimpin oleh seorang perempuan tegas dan karismatik, dan di sekitarnya, para perempuan muda berlalu-lalang melakukan tugas mereka masing-masing. Di setiap pojok rumah megah ini, kita akan melihat tone pencahayaan warna-warni mencolok, dan bayangan. Teringat sesuatu? Tentu saja, Dario Argento jelas sangat terpengaruh film ini saat ia membuat Suspiria. Kembali ke Blood and Black Lace, inspektur polisi Sylvester yang ditugaskan menangani kasus pembunuhan Isabella langsung mendatangi rumah fashion tersebut. Di sana ia mewawancarai semua orang yang kebetulan ada di sekitar TKP mayat Isabella ditemukan. Di sini kita diperkenalkan dengan lebih banyak karakter, dari mulai manajer Max Marian, pemilik rumah fashion bernama Countess Cristina Como, serta beberapa model fashion teman-teman Isabella. Kepada polisi, tidak satupun dari mereka yang mengaku mengetahui apa yang mungkin menjadi penyebab Isabella dibunuh. Tapi semua orang tampak mencurigakan sejak awal, dan dalam cerita seperti ini, semua orang memang bisa menjadi tersangka.

Beberapa hari kemudian, Nicole, salah satu sahabat Isabella yang juga bekerja di sana sebagai model, menemukan buku harian Isabella. Sangat jelas kalau keberadaan buku harian ini membuat semua pekerja di rumah fashion ini tampak cemas. Sepertinya ada sesuatu yang ditutupi dalam buku hariannya, dimana Isabella menuliskan banyak hal yang ternyata berhubungan dengan para rekan kerjanya. Buku harian Isabella pun diam-diam diperebutkan oleh teman-teman Isabella dengan harapan bisa memusnahkannya sebelum jatuh ke tangan polisi. Tampaknya hampir semua teman kerja Isabella tidak ingin rahasia mereka diketahui orang banyak. Namun bukan hanya mereka saja yang menginginkan buku harian Isabella. Pembunuh bertopeng pun kembali beraksi, membuntuti dan membunuh setiap model satu persatu demi mendapatkan buku harian Isabella, karena mungkin di dalamnya juga terdapat petunjuk jelas tentang siapa pembunuh Isabella. Inspektur Sylvester mulai menggali alibi dan kemungkinan motif dari para pekerja di rumah fashion tempat Isabella bekerja. Sambil penyelidikan terus berjalan, sang pembunuh bertopeng terus menemukan korban baru, dan semua pembunuhan baru selalu terkait dengan pembunuhan sebelumnya. Ketika jumlah korban semakin bertambah, begitu juga misteri dan daftar tersangkanya. Film ini mengundang para penonton untuk mencoba menerka siapa sang pembunuh bertopeng tersebut. Masalahnya, ada lebih dari selusin karakter dalam film ini yang akan membuat kita semua ikut bertanya-tanya siapa pembunuh Isabella, karena saat secara perlahan akhirnya kita ikut mengetahui apa isi buku harian Isabella, tersangka pembunuhnya bisa jadi siapa saja.

Blood and Black Lace mungkin adalah salah satu film horor terbaik dan paling berpengaruh di tahun 60-an. Dan saya yakin, film ini pasti sangat shocking bagi penonton di tahun 1964 dalam hal kekerasan, jauh lebih brutal dibandingkan film Psycho (1960) ataupun Peeping Tom (1960). Kekuatan utama Bava bukanlah pada cara ia bercerita. Bava adalah penata visual yang sangat visioner. Lewat sinematografi-nya, ia mengatur komposisi yang sangat artistik dan penggunaan bayangan gelap serta tone warna-warni brilian. Warna merah, biru, ungu dan hijau yang sangat indah dari mulai pembukaan film hingga pada klimaksnya. Blood and Black Lace menghadirkan kaleidoskop penuh warna yang masih sangat menawan untuk ditonton hingga sekarang, dan itu saja sudah cukup menjadi alasan mengapa film ini sangat pantas untuk ditonton berulang kali walaupun pada tahun 2020. Tapi seindah apapun komposisi visualnya, Blood and Black Lace tetap bukanlah film yang mudah untuk ditonton bagi penonton di tahun 1960-an, karena film yang penuh dengan adegan kekerasan bukanlah hal yang wajar pada saat itu. Memang, kalau kita melihat dengan kacamata modern, adegan-adegan pembunuhan dalam Blood and Black Lace tidaklah se-gore film-film horror ekstrim yang kita kenal hari ini. Tetapi jelas Blood and Black Lace sangat brutal untuk jamannya, misalnya dalam satu adegan dimana wajah salah seorang model ditempelkan ke logam panas. Diiringi dengan teriakan yang luar biasa, adegan ini bermandikan tone cahaya berwarna merah yang sangat indah. Ditambah lagi dengan penampilan pembunuhnya yang sangat misterius, bertopengkan stoking, bersarung tangan kulit, topi dan jaket panjang, tentu sangat menyeramkan bagi penonton tahun 1960-an yang tidak se-familiar kita dengan karakter-karakter pembunuh bertopeng dalam film horror. Film ini jelas masuk ke dalam daftar film wajib bagi kalian yang ingin mengenal lebih dalam kultur horror, terutama kalau kalian ingin tahu tentang nenek moyang dari film-film giallo / slasher hari ini.

 

 

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com