fbpx

MOVIE REVIEW: ALL HALLOWS’ EVE (2013)

ALL HALLOWS’ EVE
Sutradara: Damien Leone
USA (2013)

Review oleh Tremor

All Hallows’ Eve adalah salah satu antologi horror independen berbajet rendah yang cukup menghibur untuk ditonton di bulan Oktober ini. Film ini merupakan debut dari sutradara muda Damien Leone di mana ia juga menulis, mengedit, sekaligus menciptakan special effect-nya. Antologi ini bisa dibilang cukup penting, karena ia memperkenalkan satu karakter badut jahat ikonik yang sempat menggemparkan komunitas penggemar horror beberapa tahun lalu. Namanya adalah Art the Clown, yang kemudian memiliki filmnya sendiri berjudul Terrifier (2016). Ada banyak faktor mengapa beberapa film beranggaran rendah seperti All Hallows’ Eve terkadang bisa lebih menghibur daripada film-film berbajet fantastis. Salah satunya adalah karena para pembuat film berbajet rendah mendapat tantangan besar untuk mengatasi keterbatasan bajetnya, maka banyak film semacam ini yang terlahir murni dari effort, passion, kreativitas, waktu dan energi yang maksimal dari para pembuatnya. Film berbajet rendah adalah produk dari kecintaan tulus para pembuat film terhadap genre horror, dan itu saja sudah cukup alasan untuk mengapresiasi film-film seperti ini, seburuk dan seklise apapun mereka. Format antologi juga adalah format yang paling tepat untuk hal ini. Lewat antologi, seorang pembuat film yang baru mulai merintis karir bisa membuat film panjang-nya dengan cara merangkai beberapa film pendek yang dibuat di waktu terpisah menjadi satu. Itulah yang dilakukan oleh Damien Leone. Ia memasukan dua film pendek yang sudah pernah ia buat sebelumnya sebagai bagian dari antologi ini. All Hallows’ Eve berisikan 3 segmen ditambah dengan satu segmen cerita bingkai yang menyatukan film-film pendeknya. Jadi dengan bajet yang tersedia, Damien hanya perlu memproduksi satu segmen lagi dan satu cerita bingkai.

Antologi ini dibuka dengan cerita bingkai yang berfokus pada Sarah, seorang babysitter yang bertugas menjaga dua anak, Timmy dan Tia, pada malam Halloween. Terdengar klise, tetapi konsep dasar ini akan selalu efektif untuk terus digunakan dalam film-film bertemakan halloween. Timmy dan Tia baru saja kembali dari permainan trick-or-treat dan langsung menginspeksi isi kantong permen mereka sambil menonton Night of the Living Dead (1968) di layar TV. Namun bukan hanya permen saja yang Timmy temukan. Seseorang telah menyelipkan sebuah kaset video VHS ke dalam kantongnya. Kini ide klise babysitter di malam halloween mulai berubah menjadi cukup meresahkan. Ditemukannya kaset VHS ini membuka gerbang bagi banyak potensi menarik tak terbatas. Timmy sebagai anak penyuka film horror mengenal kaset VHS sebagai sebuah format yang identik dengan horror. Ia segera merasa excited ingin melihat apa isi video tersebut. Namun Sarah merasakan kekhawatiran yang penonton rasakan: kaset VHS tanpa label ini bisa berisikan apa saja, dan siapapun yang menyelipkannya ke dalam kantong Timmy bisa saja orang yang sakit jiwa. Sarah segera merebut kaset itu dan menyuruh Timmy dan Tia untuk bersiap-siap tidur. Namun kedua anak tersebut terus membujuk, dan akhirnya Sarah sepakat memutarkan video itu dengan syarat ia harus mengecek isinya terlebih dahulu. Saat gambar pertama muncul, dugaan Timmy benar bahwa isi VHS ini hanyalah film horror kelas B yang sepertinya buruk. Akhirnya mereka bertiga mulai menonton kaset video itu. Lagipula ini adalah malam Halloween, malam yang tepat untuk menonton film horror.

Dengan estetika visual kotor sebagaimana seharusnya kaset VHS, kita memasuki segmen pertama. Segmen ini merupakan salah satu film pendek yang pernah dibuat oleh sutradara Damien Leone pada tahun 2008 dengan judul The 9th Circle. Judul ini diambil dari konsep lingkar terdalam dan terburuk di neraka versi pujangga Dante Alighieri. Pada malam halloween, seorang perempuan sedang menunggu kereta di stasiun bawah tanah yang kosong. Tiba-tiba seorang badut duduk di seberangnya, menggodanya sambil sesekali membunyikan terompet tangan, properti yang umum dibawa oleh badut. Ini adalah pertama kali Damien Leone memperkenalkan karakter Art the Clown pada dunia. Namun perempuan itu tidak terhibur dengan suara-suara terompet yang mengganggu itu. Badut ini kemudian mendekat dan memberikan sekuntum bunga, dengan serangga di dalamnya. Saat perempuan tersebut berteriak kaget, Art the Clown segera membiusnya. Perempuan ini terbangun dalam keadaan dirantai di lorong bawah tanah yang gelap bersama dua perempuan lainnya. Jelas mereka tidak sendirian di bawah sana. Sesuatu yang jahat menunggu di ujung lorong dan memiliki rencana mengerikan terhadap para tawanannya.

Setelah film ini selesai, Sarah merasa terganggu dengan film pendek tersebut dan memutuskan bahwa film ini terlalu sadis untuk Timmy dan Tia. Ia mematikan video player dan menyuruh anak-anak itu tidur. Saat sudah sendirian, Sarah rupanya masih sedikit penasaran, dan ia pun melanjutkan menonton kaset VHS itu. Kita memasuki segmen kedua, yang baru dibuat oleh Damien Leone untuk antologi ini. Kisahnya tentang seorang perempuan yang diserang oleh alien di rumahnya yang terisolasi. Segmen ini berdurasi sedikit lebih panjang dari segmen pertama dan mengandung lebih banyak unsur ketegangan kejar-kejaran. Meskipun dibuat khusus untuk menambah durasi antologi All Hallows’ Eve, sayangnya segmen ini merupakan segmen paling buruk, paling lemah dan terasa paling dipaksakan dari keseluruhan antologi. Semuanya diperburuk dengan desain creature / aliennya yang tampak seperti seorang cosplayer amatiran yang sama sekali tidak menyeramkan. Namun setidaknya Leone berhasil menciptakan atmosfer dan suspense yang menyenangkan di sini.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah berlarian dari lantai atas. Sarah menduga itu adalah suara Timmy dan Tia yang belum juga tidur. Saat Sarah naik, rupanya mereka berdua sudah berada di balik selimut. Timmy dan Tia justru mengira kalau Sarah sudah beberapa kali masuk ke kamar untuk mengecek mereka. Sarah menganggap ini adalah lelucon halloween belaka dan kembali ke bawah. Rasa penasaran membuat Sarah kembali meneruskan menonton video VHS itu, dan kita memasuki segmen ketiga. Segmen ini merupakan film pendek yang dibuat oleh Damien Leone pada tahun 2011, berjudul Terrifier. Meskipun memiliki judul yang sama, tapi film ini berbeda dengan Terrifier versi full feature tahun 2016. Segmen ini menempatkan Art the Clown sebagai karakter yang dominan dibanding segmen-segmen sebelumnya. Setelah membunuh seorang pekerja pom bensin, Art mulai meneror seorang perempuan muda yang memergoki aksinya. Meskipun special effect tradisional di ending segmen ini tampak sangat palsu, tetapi segmen ini tetaplah menjadi segmen paling gore dibanding segmen lain dalam All Hallows’ Eve. Setelah segmen ini selesai, kita kembali ke babysitter Sarah yang mulai merasakan hal-hal aneh di sekitarnya. Pada akhirnya Sarah harus menghadapi mimpi terburuk babysitter di malam Halloween. Segmen bingkai ini kemudian menyatukan semua segmen lainnya, dengan malam Halloween dan Art the Clown sebagai benang merahnya. Kalau diharuskan memilih, cerita bingkai All Hallows’ Eve bisa dibilang merupakan segmen yang paling menarik dari keseluruhan antologi ini, dan seperti inilah seharusnya cerita bingkai bekerja dalam sebuah antologi.

Ada satu hal yang seringkali tidak dimiliki oleh banyak film beranggaran fantastis dalam All Hallow’s Eve, yaitu atmosfer. Seburuk-buruknya cerita dan special effect yang ada, sutradara Damien Leone berhasil membangun atmosfer mencekam yang kuat. Poin terbesar dari antologi ini juga datang dari karakter Art The Clown. Siapapun yang memiliki phobia terhadap badut mungkin perlu menghindari film ini. Dalam antologi ini, Art berhasil digambarkan sebagai simbol dari horror dan teror yang kuat dan memorable. Sang badut ini benar-benar mengganggu, jahat dan menyeramkan, dan semua itu ia lakukan tanpa satupun dialog. Aktor Mike Giannelli yang memerankan Art The Clown bekerja dengan sangat baik lewat ekspresi mata, wajah, dan gestur tubuhnya saja, dan ia berhasil memberi kita karakter jahat yang efektif. Art seperti sebuah entitas jahat yang tidak bisa dihentikan. Hadirnya Art the Clown jelas membantu film berbajet rendah ini menghibur penontonnya. Wajar kalau kemudian badut jahat ini memiliki banyak penggemar, dan kemudian mendorong dibuatnya film Terrifier (2016). Karakter seperti Art the Clown memang sangat potensial untuk dibuatkan banyak sekuel dan spin-off.

Banyak penonton modern beranggapan kalau All Hallow’s Eve adalah usaha me-rip-off antologi V/H/S/ (2012) yang sudah lebih dulu terkenal. Saya akui kalau film-film pendek dalam All Hallow’s Eve terasa seperti segmen V/H/S/ dalam versi yang lebih jinak, sopan dan buruk. Antologi All Hallow’s Eve memang jauh dari sempurna. Tetapi saya tidak sependapat kalau antologi ini kemudian dianggap mencontek V/H/S/, karena penggemar horror manapun tahu betul bahwa antologi dan format VHS adalah hal yang lekat dengan genre horror. Kedua antologi ini bagaikan proyek homage bagi era keemasan horror 80an di mana format kaset VHS mulai populer dan banyak sekali film horror yang dirilis langsung dalam format home video. Bagi kalian yang ingin mengeksplorasi dunia film horor lebih jauh, mungkin pesan saya adalah, nikmati saja dan jangan berharap terlalu tinggi. Sebagai film independen berbajet sangat rendah, All Hallow’s Eve bisa dibilang cukup solid. Film semacam All Hallow’s Eve memang dibuat untuk menghibur lewat kengerian dan ke-cheesy-an-nya, dan tidak seharusnya dianggap secara serius.

Untuk berdiskusi lebih lanjut soal film ini, silahkan kontak Tremor di email: makanmayat138@gmail.com