ALBUM REVIEW: HAIL OF BULLETS – …OF FROST AND WAR

HAIL OF BULLETS ‘…of Frost and War’ ALBUM REVIEW

Metal Blade Records. May 12th, 2008 / June 9th, 2023 (Reissue)

Death metal

Tujuh tahun lalu, tepatnya pada 13 Maret 2017, salah satu pengusung death metal paling beringas, HAIL OF BULLETS memutuskan untuk membubarkan diri, sebuah kejadian yang sangat disayangkan, tapi sebenarnya emang sudah tak terelakan pasca cabutnya Martin van Drunen dua tahun sebelumnya, yang sepertinya meninggalkan keretakan tak tertolong dalam tubuh band, walau sempet ditambal oleh Dave Ingram (BENEDICTION). Padahal HAIL OF BULLETS meski tak se-kvlt REPUGNANT, termasuk band death metal paling sakti di akhir 2000-an, karena emang didirikan oleh para dedengkot era keemasan scene metal kematian Belanda, Martin van Drunen (ASPHYX, ex-PESTILENCE), dua gitaris THANATOS, Stephan Gebédi dan Paul Baayens, Theo van Eekelen  (ex-HOUWITSER), dan Ed Warby, yang punya portofolio mulai dari band legend layaknya GOREFEST, sampai band progressive metal tak kalah tenar, AYREON, jadi dengan line-up angker kayak gitu, wajar lah kalau Metal Blade Records langsung nyodorin kontrak setelah mendengarkan demo empat lagu yang di produseri langsung oleh bos besar Unisound Studio, Dan Swanö. HAIL OF BULLETS pada era tersebut juga seperti mengawal para generasi baru pengibar panji death metal, mulai dari OBLITERATION, TRIBULATION, EXECRATION, hingga CRUCIFYRE, dll, yang melepaskan rilisan-rilisan berengsek sepanjang 2008-2010, momen yang menjadi cikal bakal meledaknya OSDM dikalangan paran anak muda saat itu.

Ketika merancang konsep band, para personil HAIL OF BULLETS lebih berpedoman ke scene negara tetangga mereka, karena komposisi band ini dari awal terdengar macam hibrida antara sound gergaji mesin busuk ala Stockholm era 90’an dengan slow and steady groove hingga melodi yang mengingatkan pada BOLT THROWER, lengkap dengan tema peperangannya, jauh sebelum band kayak 1914 muncul. Dari tiga album penuh yang dilepaskan sepanjang karir HAIL OF BULLETS, debut LP ‘…Of Frost and War’ tetap menjadi yang paling numero uno, karena berhasil menangkap kebarbaran grup ini secara maksimal, selain itu dialbum ini pula lah terekam wujud HAIL OF BULLETS yang masih belum ada kompromi, karena ‘On Divine Winds’ walau masih oke tetep agak terdengar sedikit lebih jinak, dan ‘III: The Rommel Chronicles’ jangan ditanya deh, karena emang jadi terlalu kinclong dari segi produksi. ‘…Of Frost and War’ berfokus pada front timur perang dunia kedua, awalnya dari sudut pandang pasukan Jerman sebelum bergeser ke perspektif tentara Soviet, dan setelah intro singkat “Before the Storm (Barbarossa)”, grup ini langsung tanpa permisi langsung menendang bokong via “Ordered Eastward”, yang pekat terdengar kayak DISMEMBER, namun setelah mandi dikubangan lumpur yang penuh oli tank, mereka juga gak kebut-kebutan doang, karena buktinya di lagu-lagu selanjutnya “The Lake Ladoga Massacre” dan “General Winter” justru terangkat bagian-bagian yang lebih slow and doomy.

Materi dalam ‘…Of Frost and War’ pun termasuk gampang nempel di otak alias memorable, layaknya “Advancing Once More” dan “Red Wolves of Stalin”, meskipun masih ada track pertengahan agak hambar yaitu “Nachthexen” dan “The Crucial Offensive (19.11.1942, 7:30 AM)”, keduanya punya andil membuat album ini lumayan bloated, yang memang satu-satunya hal negatif dari album pertama HAIL OF BULLETS ini.  Nomor-nomor terbaik menurut saya dari album pertama mereka justru muncul di bagian akhir, dimana pendengar dilindas dengan konvoi kelas berat “Stalingrad”, “Inferno at the Carpathian Mountains”, dan ending  “Berlin”, yang mengakhiri ‘…Of Frost and War’ secara near flawless via harmonisasi melodi gitar yang punya aura rasa kemenangan namun muram parah, “we’ve won the war… but at what cost?” . Meskipun sepanjang karirnya hanya menelurkan tiga buah full length, setidaknya HAIL OF BULLETS masih lebih langgeng dari mayoritas supergrup diluaran, yang kelar satu-dua album langsung bubar, dan yang paling penting mereka sempat merilis ‘…Of Frost and War’, sebuah album yang menjadi artefak penting momen kebangkitan old school death metal di akhir 2000’an, setelah satu dekade dulu digilas technical, brutal, dan melodic death metal. (Peanhead)

9.9 out of 10