.FEAST
Multiverses
(.Feast/Leeds Records, 2017)
Rock sebagai sebuah genre music memiliki spektrum yang luas dengan beragam anakan subgenre-nya. Dari blues hingga rock’n’roll, rock terus berevolusi secara sonikal sebagai salah ruang ekspresi dan aktualisasi lintas generasi dari jaman dahulu kala hingga masa kini. Itu pula yang dilakukan oleh band asal Jakarta, .Feast, yang menjadikan blues, psychedelic rock, prog rock dan heavy rock serta meleburnya dengan beragam elemen sebagai pondasi kreasinya di album debutnya, ‘Multiverses’. Sebuah album debut yang menarik karena ianya adalah sebuah album konsep. Sebuah semesta antara realita dan khayal sains fiksi, kultur pop dan kenyataan social politik dan spiritual yang getir, saya tak akan berbicara banyak akan tematik akan kisah dan konsep yang menyelimuti ‘Multiverses’ karena saya akan bertele-tele dengan hal yang akan bermulti tafsir. Menyertakan beberapa talenta tamu sebagai kolaborator tamu dalam album ini – seperti namanya- . Feast sepertinya mencoba merayakan proses kreatifnya dalam album debutnya ini dengan sebuah kenduri besar. Seperti nomer pembuka “Riphunter” yang jujur membuat saya tersentak karena bernuansa hip hop, rock, soul dan electronic dimana .Feast berkolaborasi dengan Mardial sebagai produser dan departemen vokal yang dibantu oleh Ramen gvrl dan Bam Mastro (Elephant Kind), suguhan pembuka yang avantgarde.
Kekuatan rock nan massif dari .Feast meruak dengan “Wives of ゴジラ (We Belong Dead)” dengan isian saksofon oleh Janitra Satriani. Berlanjut dengan “Kelelawar” yang menyertakan Rubina dan Karaeng Adjie (Polka Wars), straight up groovy sleazy rock’n’roll, yang akan memaksa pinggul untuk bergoyang. Momen yang kemudian didinginkan dengan “NʍopEpᴉsdn” seperti jeda untuk melemaskan pinggul.
Nomer favorit saya adalah “Blackwater/Multiverse” yang bernuansa prog rock dan folk rock dengan Heidi Nasution sebagai biduan tamu. Nuansa yang kemudian dilanjutkan di “Watcher of the Wall” nomer kuat yang seolah sebuah ratapan yang menyertakan Oscar Lolang danYudhis (Rachun) yang mengisi monolog perantara. Yang kemudian meledak meletup di “Fastest Man Alive” dan “Sectumsempra”. “Tel Aviv” dengan vocal tamu Haikal Azizi (Sigmun/Bin Idris) yang merambat malas dan doomy dan nomer akustik “Jerusalem” – yang juga vokalnya diisi dengan cantik oleh Rubina – menjadi semacam momentum pendingin menjelang akhir yang ditutup oleh monolog “Man of God” oleh Bam Mastro yang jujur tak terlalu esensial. Berbicara akan terma eksperimental atau konseptual untuk sebuah rilisan music mungkin terdengar megah di atas kertas tapi ianya akan menjadi pretensius bila tidak berimbang dengan pengejawantahannya secara kreasi dan elemen-elemen yang menyertainya. Tidak dengan begitu saja mengecilkan usaha .Feast untuk melepas sebuah album konsep bahkan harus diapresiasi, karena jujur masih sangat minim dilakukan oleh band rock kontemporer Indonesia. Walau, sangat disayangkan sepertinya ada kegamangan focus dari .Feast dalam menakar dan mengukur kekuatan utama musikal, tema dan elemen yang menyertainya sehingga seolah terperangkap dalam eksplorasi sekunder yang sedikit banyak menciptakan disrupsi terhadap kekuatan primer musical dari ‘Multiverses’ sebagai album. Seperti narasi “God Speak To Me Last Night” monolog yang sepertinya adalah usaha untuk membangun jembatan naratif pengikat secara tematik yang menurut saya bukannya malah memperkaya tapi agak mengurangi sekian persen kekuatan maksimal dari album ini, terutama karena naratornya lemah dalam olah vokalnya untuk menciptakan riak emosi pendengarnya bukannya memperkaya malah kerap mengganggu momentum beberapa lagu. Narasi yang bila mendengar beberapa kolaborator spoken words lainnya dalam ‘Multiverses’akan lebih baik bila diisi oleh kolaborator tamu seperti Yudhis (Rachun) atau Oscar Lolang. Nilai plus untuk‘Multiverses’ juga adalah pengemasannya yang menyertakan sebuah buku tebal dengan foto dan ilustrasi, berisi lirik, narasi, jurnal akan produksi pengerjaannya dan ekplanasi tiap lagu, stiker, guitar picks, juga asesoris aroma terapi yang menemani cakram padat dalam plastic ziplock yang membuatnya wangi dengan aroma sitruslimau. Paket bundle rilisan musik local nasional terwangi yang menciptakan sensasi tersendiri ketika mendengarkan musiknya. Dengan catatan akan kelemahan konsepsinya sebagai album konsep, secara keseluruhan ‘Multiverses’ adalah album yang bagus, yang menunjukkan keberadaan .Feast diantara band rock kontemporer Indonesia yang memainkan music sejenis jelas tidak bias dianggap enteng. [FaridAmriansyah]